DISTORI.ID – Sejak 23 November 2025 lalu, Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat mengalami curah hujan ekstrem yang menyebakan banjir bandang di berbagai daerah.
Hingga kini, genangan air dan endapan lumpur masih berada di areal pemukiman dan pertanian warga, dimana sebagian besar hanyut terbawa arus banjir.
Dilansir dari berbagai media, bencana ini melumpuhkan sedikitnya 50 kabupaten/kota di 3 (tiga) provinsi tersebut, 2,1 juta jiwa mengungsi , 2.600 korban luka-luka, 735 jiwa meninggal dunia, dan 650 dikabarkan masih hilang.
Laporan yang diterima Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dari anggota dan jaringan di lapangan menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan di lokasi bencana akibat lambatnya respon Pemerintah Pusat dan Daerah dalam menangangi dampak dari bencana ini.
Pertama, akses terputus sehingga membuat jalur distribusi logistik ke desa-desa terisolir belum tembus. Alat berat minim.
Ribuan warga masih terjebak tanpa makanan dan air bersih berhari-hari; kedua, harga kebutuhan pokok melambung tinggi akibat pemerintah gagal mengendalikan pasar di tengah krisis; ketiga, warga mulai terancam wabah penyakit seperti penyakit kulit, diare, dan ISPA akibat minimnya posko kesehatan dan persediaan obat-obatan. Anak-anak dan lansia tidur di pengungsian yang tidak layak tanpa selimut dan sanitasi.
Lebih dari itu, bencana banjir yang meluluhlantakkan ketiga provinsi ini merupakan sinyal darurat atas kriris agraria dan ekologis yang semakin parah di Sumatra. Penyelenggara negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab akibat tingginya praktek bagi-bagi izin dan konsesi untuk perkebunan, tambang dan kehutanan, alih-alih membenahi krisis agraria dan ekologis yang telah lama berlangsung.
Kawasan hulu yang seharusnya menjadi ‘spons’ penyerap air telah dikuasai segelintir korporasi perkebunan, kehutanan dan tambang.
Hutan alam dan wilayah adat masyarakat yang selama ini menjadi kawasan penyangga dirampas dan dibuka secara besar-besaran.
Berganti tanaman monokultur berakal dangkal. Saat hujan turun, air tidak bisa terserap, sehingga menghantam pemukiman penduduk di hilir sungai.
Menurut Catatan Akhir Tahun 2024 Konsorsium Pembaruan Agraria, selama 10 tahun terakhir, sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria seluas 7,4 juta hektar dan terdampak pada 1,8 juta keluarga.
Setengah dari letusan konflik tersebut atau 1.733 kasus terjadi akibat operasi perusahaan perkebunan (1.242 kasus), konsesi tambang (253 kasus) dan Hutan Tanaman Industri (238 kasus).
Sementara, dua dari tiga provinsi yang mengalami banjir saat ini merupakan provinsi dengan letusan konflik agraria tertinggi di Indonesia pada 2024, yakni Sumatra Utara dan Sumatra Barat.
Di Sumut, sedikitnya terjadi 32 letusan konflik agraria sepanjang 2024 dimana mayoritasnya terjadi akibat operasi perkebunan sawit (11 kasus), pembebasan tanah dan lahan untuk proyek infrastruktur (10 kasus) dan operasi perkebunan kehutanan, tambang dengan masing-masing sebanyak 9 (sembilan) kasus.
Di Sumbar, sepanjang 2024 sedikitnya terjadi 12 letusan konflik agraria dimana 10 letusan konflik terjadi akibat operasi perusahaan perkebunan.
Kelompok Studi Prakarsan dan Pemberdayaan Masyarakat (KSPPM) melakukan analisis perubahan tutupan hutan di Tapanuli Selatan dan Tapanulsi Tengah sejak 1990 hingga 2024.
Hasilnya menunjukkan penurunan tutupan hutan alam yang sangat siginifikan di Tapanuli Selatan. Selama tiga dekade terakhir, wilayah ini kehilangan 46.640 hektar hutan alam. Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990–2000, yakni 26.223 hektar, dan berlanjut pada 2000–2010 dengan kehilangan 10.672 hektar.
Data perubahan tutupan lahan ini berjalan searah dengan perluasan penggunaan lahan lain: sejak 1990–2024 terjadi penambahan kebun sawit seluas 42.034 hektare, perluasan kebun kayu eukaliptus sebesar 1.107 hektare, serta identifikasi 298 lubang tambang.
Kondisi serupa juga tampak di Tapanuli Tengah. Sejak 1990 hingga 2024, wilayah ini kehilangan sekitar 16.137 hektare hutan alam.
Kehilangan terbesar terjadi pada periode 1990–2000, yakni 9.023 hektare, disusul periode 2010–2020 sebesar 6.154 hektare. Pola ini menunjukkan kerusakan hutan yang berlangsung bertahap namun konsisten dalam tiga dekade terakhir.
Berbeda dengan Tapanuli Selatan, perubahan tutupan lahan di Tapanuli Tengah tidak menunjukkan lonjakan dramatis pada perluasan kebun sawit, kebun kayu, maupun aktivitas pertambangan.
Analisis KSPPM berbasis mencatat bahwa penambahan kebun sawit dan kebun kayu hanya sekitar 853,54 hektare. Sebagian besar perubahan tutupan lahan justru beralih menjadi gambut, mangrove, sawah, permukiman, dan bentuk lahan lain.
Temuan lainnya menunjukkan bahwa di hulu Sungai Batang Toru terdapat 21 anak sungai, sedangkan di Sungai Sibundong terdapat 46 anak sungai.
Keseluruhan anak sungai ini berada dalam konsesi salah satu perusahaan bernama PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). Kondisi ini menguatkan dugaan bahwa pembukaan hutan dan perubahan kawasan menjadi monokultur khususnya penanaman kayu eukaliptus telah merusak fungsi hidrologis kedua DAS tersebut.
Bencana kologis banjir ini harusnya jadi momentum bagi Pemerintah Indonesia, agar segera menyelesaikan krisis agraria Indonesia, sebelum bencana ekologis terjadi di berbagai wilayah.
Perlu perubahan secara struktural di aras kebijakan, ketimbang menanggulangi dampak bencana yang terjadi. Selama ini pemerintah selalu menjadi pemadam kebakaran – sibuk saat bencana terjadi, lupa saat situasi telah pulih.
Kami mengingatkan pemerintah untuk segera melakukan evaluasi dan moratorium terhadap izin dan konsesi yang telah memonopoli wilayah adat masyarakat dan hutan di Indonesia, khususnya di tiga provinsi tersebut.
Oleh karena itu, kami dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Kelompok Studi Prakarsa dan Pemberdayaan Masyarakat (KSPPM), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Perempuan Rakyat Penunggu (PARAP), Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI) Aceh, Serikat Tani Aceh Utara (SETIA) dan Sarekat Pengorganisasian Rakyat (SPR) mendesak pemerintah segera melakukan langkah-lagkah pemulihan dan perbaikan:
Pertama, segera lakukan moratorium, audit serta cabut izin serta konsesi perkebunan, hutan dan tambang yang bersamalah; pulihkan wilayah adat masyarakat dan kawasan hutan yang selama ini telah rusak akibat operasi-operasi korporasi besar;
Kedua, usut tuntas dan tindak tegas seluruh pejabat negara dan korporasi atas kongkalingkong mereka untuk merampas tanah masyarakat, wilayah adat dan kawasan hutan yang telah menyebabkan krisis agraria dan ekologis;
Ketiga, serahkan pengelolaan sumber daya agraria sepenuhnya kepada rakyat, alih-alih terus memberikan karpet merah kepada korporasi untuk mengusahakan tanah dan hutan – sebab rakyat terbukti lebih baik menjaga tanah dan hutan dibanding korporasi yang hanya mengejar profit;
Keempat, segera laksanakan reforma agraria sejati sebagai upaya untuk pengakuan dan pemulihan wilayah adat masyarakat dan redistribusi tanah untuk rakyat.
Kelima, Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria (Pansus PKA) harus segera bekerja melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan reforma agraria di Indonesia; Presiden Prabowo segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRAN).
Demikian siaran pers bersama ini kami buat dan sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.
Hormat kami:
1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
2. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
3. Perempuan Rakyat Penunggu (PARAP)
4. Kelompok Studi Prakaras dan Pemberdayaan Masyarakat (KSPPM)
5. Serikat Tani Aceh (Setia)
6. Yayasan Rumpun Bambu Indonesia (YRBI)
7. Sarekat Pengorganisasiran Rakyat (SPR)
Narahubung:
• Benni Wijaya (KPA) – 085363066036
• Alfi Syahrin (BPRPI) – 082161039136
• Rocky Pasaribu (KSPPM) – 085252624955
• Sanusi M Syarif (YRBI) – 081377045534
• Sago Indra (SPR) – 081266423616. []






