SEJARAH

Bukit Kerang, Jejak Peradaban Purba di Aceh Tamiang

DISTORI.ID – Sahabat travelers, ternyata di Provinsi Aceh ada objek wisata yang unik lho. Selain unik, disana kita bisa belajar sambil melihat peninggalan sejarah sisa peradaban manusia purba.

Namanya Bukit Kerang. Objek Wisata ini berlokasi di Kecamatan Bendahara Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.

Konon katanya, tumpukan kulit Kerang yang tingginya sekitar dua hingga empat meter itu merupakan sisa peradaban manusia purba yang usianya sudah mencapai ratusan tahun.

Sisa Peradaban Manusia Purba

Arkeolog Aceh sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala, Husaini Ibrahim menjelaskan bahwa, tumpukan kulit kerang (moluska) yang berada di Kabupaten Aceh Tamiang tersebut sebenarnya merupakan sampah dapur dari manusia purba. Dalam bahasa Belanda sampah dapur itu disebut kjoken mordinger.

Adanya sampah moluska itu, kata Husaini, menjadi petunjuk bahwa ada peradaban manusia purba di wilayah Aceh pada masa itu.

Menurutnya, berdasarkan penelitian, sekitar enam ribu hingga 10 ribu tahun lalu manusia prasejarah datang ke Aceh Tamiang. Mereka mendiami wilayah pantai timur Sumatera.

“Dan moluska sendiri adalah bahan makanan termudah yang bisa ditemukan di sana. Dan pada masa itu manusianya masih hidup berpindah pindah (nomaden),” kata Husaini.

Bukit kerang semacam itu, kata Husaini bukan hanya terdapat di Desa Mesjid Kecamatan Bendahara saja, tetapi juga ditemukan di Desa Pangkalan, Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, yang dinamakan Bukit Remis.

“Terdapat perbedaan sampah moluska yang terdapat di Kecamatan Bendahara dan Desa Pangkalan. Kulit moluska yang terdapat di Bendahara lebih tebal dibandingkan dengan yang ada di Pangkalan. Hal ini dapat disebabkan pengaruh iklim, dan perbedaan air. Jika di Pangkalan, moluska air tawar,” ujarnya.

Sebenarnya sampah prasejarah jenis itu juga pernah ditemukan di sepanjang pesisir pantai, tetapi sampah-sampah purba itu akhirnya habis. Hanya di Aceh Tamiang saja yang tersisa. Sedangkan di daerah lain di Aceh sudah hilang akibat tergusur oleh bangunan dan sebab lainnya.

“Di Langsa hingga Lhokseumawe pernah ditemukan. Bahkan di Lhokseumawe sendiri pernah ditemukan kapak Sumatera,” lanjutnya.

Penelitian tentang kedua situs bukit kerang itu sudah dilakukan oleh arkeolog luar negeri sejak zaman penjajahan Belanda.

“Sebenarnya Aceh wajib bangga masih memiliki situs prasejarah ini. Sebab yang masih utuh situs seperti ini hanya ada di Perancis dan Malaysia”

Jumlah kerang yang ada di situs Bukit Kerang, lanjut Husaini, sudah banyak berkurang. Salah satu penyebabnya adalah masyarakat mengambilnya untuk digunakan sebagai bahan baku kapur.

“Perlu upaya turun tanah pemerintah dalam mempertahankan dan menjaga cagar budaya yang sangat berharga ini. Jika tidak, lambat waktu situs ini akan hilang. Sebenarnya Aceh wajib bangga masih memiliki situs prasejarah ini. Sebab yang masih utuh situs seperti ini hanya ada di Perancis dan Malaysia,” kata dia.

Dia berharap agar situs ini disosialisasikan atau diperkenalkan kepada anak sekolah dan guru sejarah, agar mereka menjadi lebih faham.

“Karena situs itu mempunyai nilai penting, sejarah, ilmu, pariwisata, dan banyak hal yang bisa diambil. Sehingga keberadaannya tidak hilang di telan masa. Sebab cagar ini bisa rusak karena alam, bisa rusak karena tangan manusia. Jadi prinsipnya harus dilindungi sesuai dengan perintah Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya,” ujarnya.

Terpisah, Juru Pelihara situs Bukit Kerang, Husni Hidayat menuturkan, untuk mengoptimalkan cagar budaya Bukit Kerang menjadi objek wisata sesuai standar memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

“Paling sedikit anggaran yang harus di gelontorkan sekitar Rp 1 Miliar,” kata Husni.

Situs Bukit Kerang di Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh. (Foto: DISTORI/Zulfitra)

Sebab, kata dia, banyak fasilitas yang mesti dibangun lagi sebagai upaya pendukung objek wisata tersebut. Dengan begitu, secara otomatis akan menarik minat wisatawan dengan sendirinya.

Ia mengakui, sebelumnya situs cagar budaya Bukit Kerang yang berada di desanya itu kurang mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah daerah sendiri maupun provinsi.

Sehingga kondisi Bukit Kerang terlihat kusam dan kumuh, menunjukkan kesan tidak terawat.

“Namun, selama beberapa tahun belakangan ini sudah mulai terlihat kepedulian Pemkab. Sebagian pagar yang rusak sudah diperbaiki dan di cat ulang,” katanya.

Meskipun prosesnya lambat, namun sedikit demi sedikit situs Bukit Kerang tersebut sudah mulai bersih dan indah untuk di kunjungi.

Sehingga, T Husni Hidayat optimis Bukit Kerang dapat terus berkembang menjadi objek wisata, dikarenakan situs tersebut merupakan sisa peninggalan manusia purbakala yang hidup ribuan tahun lalu.

“Bahkan, sebagian peneliti menyebut jika Bukit Kerang itu hanya ada 1 di Indonesia, yakni yang terdapat di Desa Masjid ini,” ujarnya.

“Tidak hanya masyarakat di Kecamatan Bendahara saja yang bangga memiliki situs ini. Negara ini pun seharusnya patut bangga dengan situs Bukit Kerang tersebut. Karena situs seperti ini di dunia hanya terdapat di 4 negara, salah satunya Aceh Tamiang, Indonesia,” imbuhnya. []

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button