DISTORI.ID – Balai Bahasa (BB) Provinsi Aceh menyatakan bahwa penggunaan bahasa daerah Aceh mengalami pergeseran karena terjadinya modernisasi dan perkawinan antardaerah.
Penyuluh Balai Bahasa Provinsi Aceh Safrizal, di Banda Aceh, Sabtu (25/2/2023), mengatakan bahwa modernisasi telah menyebabkan penggunaan bahasa daerah jarang digunakan, termasuk oleh kalangan generasi muda di tanah rencong.
“Penggunaan bahasa di kalangan generasi muda berkurang khususnya saat berada di perkotaan, bahasa daerah tidak digunakan lagi karena takut tidak diterima dalam kelompok,” kata Safrizal.
Selain modernisasi, kata Safrizal, perkawinan antardaerah juga bisa menjadi salah satu penyebab penggunaan bahasa daerah bisa ditinggalkan generasi muda.
Kebiasaannya, para orang tua pasangan dari daerah yang berbeda tidak lagi mengajarkan anak bahasa lokal. Melainkan beralih ke bahasa Indonesia, dan itu yang pertama sekali dikenalkan pada anak.
“Apalagi saat masuk sekolah nanti sudah diharuskan bisa bahasa Indonesia. Kalau misalnya dari lahir sudah diajarkan bahasa daerah, itu ada anggapan akan canggung berbicara bahasa Indonesia,” ujarnya.
Untuk diketahui, berdasarkan hasil kajian dari tim Balai Bahasa Provinsi Aceh, salah satu bahasa daerah yang ada di Aceh masuk dalam kategori terancam punah yaitu bahasa Gayo, meskipun prosesnya tidak terjadi secara cepat.
Namun, lanjut Safrizal, jumlah penutur bahasa Gayo juga terindikasi berkurang, di mana generasi muda dari suku Gayo yang tersebar di Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues banyak yang sudah meninggalkan bahasa leluhur mereka.
“Berdasarkan hasil kajian tahun lalu, bahasa Gayo mulai terancam punah, tapi tidak secara cepat. Lambat laun banyak remaja yang sudah meninggalkan bahasa Gayo,” katanya.
Terhadap kondisi ini, Balai Bahasa Provinsi Aceh akan terus berupaya melakukan revitalisasi bahasa atau memperkenalkan kembali bahasa daerah, sehingga tidak terlalu cepat punah.
“Misalnya tahun ini Balai Bahasa melakukan upaya revitalisasi bahasa Gayo. Di samping itu kita juga mengajak pemerintah, akademisi, dan masyarakat turut andil dalam upaya menyelamatkan bahasa daerah ini,” ujarnya.
Safrizal menambahkan, pihaknya juga mengusulkan kepada perguruan tinggi agar dapat mendirikan prodi bahasa daerah yang mampu mencetak pengajar khusus bahasa daerah Aceh.
“Saya dapat kabar hal ini sedang diusulkan oleh Universitas Syiah Kuala, nantinya akan bernaung di bawah FKIP,” katanya.
Selain itu, ia juga menyarankan agar kegiatan pembelajaran bahasa daerah ini tidak hanya di tingkat SD saja, tetapi juga diwajibkan sampai tingkat SMA sederajat.
“Karena saat ini hanya SD saja yang ada muatan lokal pelajaran bahasa daerah, sedangkan SMP dan SMA tidak ada lagi, apalagi universitas,” demikian Safrizal.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh sebelumnya menyatakan bahwa berdasarkan laporan long form sensus penduduk 2020, penggunaan bahasa daerah Aceh berkurang di kalangan post gen Z yang lahir 2013 ke atas dibandingkan generasi pre boomer (sebelum 1945).
Penggunaan bahasa daerah oleh post gen Z (2-9 tahun) sebesar 64,36 persen, angka ini jauh berkurang dibandingkan generasi pre boomer (di atas 75 tahun) yang jumlahnya mencapai 89,93 persen.
Kemudian, penggunaan bahasa secara berangsur-angsur menurun pada generasi selanjutnya, misalnya pre boomer (mulai usia 77 tahun) sebesar 89,93 persen, lalu pada baby boomer (58-76 tahun) sebesar 85,72.
Angkanya terus menurun pada generasi gen X (42-57 tahun) sebesar 82,27 persen, millenial (26-41 tahun) 79,76, gen Z (10-25 tahun) sebesar 74,77 persen, dan generasi paling muda post gen Z (2-9 tahun) jumlahnya turun lagi menjadi 64,36 persen. [Ant]