DISTORI.ID – Aceh hingga tahun 2025 masih tercatat sebagai provinsi dengan jumlah pembawa sifat thalasemia (carrier) tertinggi di Indonesia. Fakta ini kembali disuarakan dalam peringatan Hari Thalasemia Sedunia yang digelar Yayasan Darah untuk Aceh melalui kegiatan “Bersama Peduli Thalasemia”, di Banda Aceh, Rabu malam (13/5/2025)
Founder Yayasan Darah untuk Aceh, Nurjannah Husien, mengungkapkan bahwa situasi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan masyarakat, mengingat angka pembawa sifat thalasemia di Aceh berdasarkan Riskesdas 2007 mencapai 13,4 persen—tertinggi secara nasional.
“Jika tidak ada perhatian yang baik, maka dipastikan Aceh akan kehilangan banyak generasi muda pada 20 tahun mendatang akibat meningkatnya kasus thalasemia mayor,” ujarnya.
Nurjannah menyebut, thalasemia bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga menyangkut kualitas sumber daya manusia ke depan. Ia menekankan perlunya regulasi yang mendukung penyandang thalasemia agar bisa hidup produktif dan tidak terdiskriminasi, khususnya dalam dunia kerja.
“Banyak penyandang thalasemia di Aceh memiliki pendidikan tinggi, namun terhambat ketika melamar pekerjaan karena syarat surat keterangan sehat,” katanya.
Acara tersebut juga menjadi ajang refleksi para penyintas thalasemia. Surya Riski, salah satu penyandang, menyampaikan bahwa sudah saatnya para thaller (sebutan untuk penyandang thalasemia) mengubah cara pandang terhadap diri sendiri.
“Yang penting bukan lagi bagaimana orang lain memandang kita, tapi bagaimana kita membangun harga diri dan motivasi untuk terus maju,” katanya.
Sementara itu, Kepala Instalasi Sentra Thalasemia dan Hemofili RSUDZA Banda Aceh, dr. Heru Noviat Herdata, Sp.A, menyebut saat ini lebih dari 500 penyandang thalasemia rutin melakukan transfusi di RSUDZA.
“Mereka tidak sakit, hanya memerlukan transfusi darah rutin karena tubuhnya tidak mampu memproduksi sel darah merah secara normal,” jelasnya.
Data Kementerian Kesehatan RI pada awal 2024 mencatat setidaknya ada 673 penyintas thalasemia di Aceh, dan jumlah itu diyakini sudah melampaui angka 1.000 pada tahun ini. Minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya skrining sebelum menikah menjadi penyebab utama tingginya angka penyebaran.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Aceh, Iman Murahman, mengatakan pihaknya tengah menggalakkan program pemeriksaan darah gratis.
“Kami mendorong skrining bagi calon pengantin, ibu hamil, dan balita, agar thalasemia dapat terdeteksi sejak dini,” ucapnya.
Thalasemia adalah penyakit kelainan darah bawaan yang menyebabkan umur sel darah merah sangat pendek. WHO memperkirakan 3-10 persen populasi Indonesia membawa gen thalasemia β (beta), dan 2,6-11 persen membawa gen α (alfa). Indonesia termasuk dalam sabuk thalasemia dunia, dan Aceh menjadi salah satu daerah yang paling terdampak.
Nurjannah berharap peringatan tahun ini dengan tema “Menyatukan Komunitas, Memprioritaskan Pasien” dapat menjadi momentum untuk mendorong aksi konkret dan kebijakan inklusif dari pemerintah daerah.
“Jika tidak dimulai dari sekarang, Aceh akan menanggung beban yang jauh lebih berat dalam dua dekade ke depan,” tutupnya. []