SEJARAH

Jejak Kejayaan Rempah Aceh yang Diincar Pedagang China hingga Eropa

DISTORI.ID – Aceh salah satu daerah di Indonesia yang mempunyai sejarah jalur rempah. Bahkan, jalur rempah di provinsi Serambi Mekah itu terkenal hingga penjuru dunia. Mulai daratan China, Arab hingga dataran Eropa.

Sejarawan sekaligus Arkeolog Aceh, Dr. Husaini Ibrahim, menyebutkan pada zaman kerajaan, Aceh sangat terkenal kebesarannya hingga ke manca negara. Sebab, Aceh merupakan daerah terbesar sebagai penghasil rempah.

Menurut Husaini, hal itu karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia di sebelah barat, dan Selat Malaka di sebelah timur Aceh.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI berencana akan mengusulkan jaringan perdagangan rempah-rempah nasional menjadi warisan budaya dunia ke UNESCO pada 2024. Ada 20 titik lokasi jalur perdagangan rempah-rempah nasional di Indonesia yang akan di usulkan, dua di antaranya berada di Aceh.

Adapun dua lokasi itu yakni, Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Utara. Pemilihan Kota Banda Aceh sendiri karena kota ini merupakan representasi lokasi Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan Kabupaten Aceh Utara merupakan representasi lokasi Kerajaan Samudera Pasai.

Husaini Ibrahim menjelaskan, pada zaman dahulu Aceh memiliki dua jalur rempah, yang meliputi jalur rempah internasional dan jalur khusus untuk daerah tertentu.

“Ada jalur rempah internasional dan jalur rempah khusus daerah-daerah tertentu,” ujar Husaini saat ditemui DISTORI belum lama ini.

Jadi, katanya, titik inilah yang menunjukkan kebesaran daripada Aceh pada masa itu. Tidak hanya sebagai penghasil rempah, namun Aceh juga mengirim hasil rempahnya ke luar negeri.

“Iklim Aceh sangat cocok untuk tanaman lada waktu itu”

Disamping itu, banyaknya orang asing yang datang mencari rempah-rempah ke Aceh pada masa itu, menjadikan Aceh semakin terkenal di mancanegara.

Husaini mengatakan, terdapat beberapa jenis tanaman rempah dengan kualitas terbaik dan terkenal bahkan di akui hingga di mancanegara yang ada di Aceh, sejak zaman kerajaan hingga saat ini. Seperti lada, cengkeh, pala, dan lainnya merupakan komoditas utama.

Di Kabupaten Pidie misalnya, lada yang berasal dari daerah itu sangat bagus kualitasnya. Di samping itu juga ada di kawasan lain, seperti Aceh Besar, Aceh Utara yang banyak menghasilkan lada.

“Karena iklim Aceh sangat cocok untuk tanaman lada waktu itu,” katanya.

Sedangkan untuk tumbuhan Pala, banyak berkembang di Barat Selatan provinsi Aceh. Pala hingga saat ini masih menjadi produk unggulan di daerah tersebut. Bahkan, masyarakat di sana sudah ada yang mengolah Pala menjadi sirup, manisan, dan lainnya.

“Tetapi dalam bentuk yang lama tentunya masih dipakai sebagai kebutuhan yang sangat diperlukan waktu itu, terutama di Eropa kawasan yang dingin sangat memerlukan rempah-rempah dari daerah kita, Aceh,” katanya.

Sejarawan Aceh, Dr. Husaini Ibrahim. (Foto: Fahzian Aldevan)

Sementara, untuk kawasan Aceh Besar, termasuk Pulo Aceh, daerah itu mempunyai potensi yang besar untuk penanaman cengkeh. Kawasan tersebut memang terkenal sebagai penghasil cengkeh yang cukup bagus.

Tak heran, di samping hawa gunung, kualitasnya juga dipengaruhi dari laut yang memberikan tanaman itu hidup subur dan berkembang.

Sehingga, aroma cengkehnya mempunyai ciri khas tersendiri, yang membedakan dengan cengkeh yang ada di kawasan lain. Karena itulah, harganya jualnya pun lebih tinggi karena kualitasnya juga bagus.

Sementara itu, terkait dengan proses perdagangan yang terjadi pada masa itu, Husaini Ibrahim menjelaskan, dalam dunia perdagangan, terutama pada abad kemajuan Islam, Aceh mencapai puncak kejayaan pada abad ke-17, yaitu pada masa Sultan Iskandar Muda.

Namun demikian, sebelumnya Aceh juga sudah menjalin hubungan kerja sama luar negeri dengan Turki dan jaringan dengan dunia luar termasuk Eropa. Jadi, ketika bangsa-bangsa asing datang ke Aceh, dan mereka harus menukar uang di sana, maka di Aceh juga terdapat banyak tempat penukaran uang.

Husaini menambahkan, transaksi perdagangan yang terjadi di Aceh saat itu, bukan saja hanya barter, tetapi juga membeli dengan uang yang dipakai saat itu.

“Aceh sebagai sebuah kerajaan yang besar sudah menggunakan mata uang emas atau dirham. Mata uang itu sudah digunakan di kerajaan Aceh dan itu menunjukkan sebuah lambang kebesaran dari kerajaan Aceh,” paparnya.

Oleh karena itu, tak heran jika di Aceh banyak ditemukan mata uang asing, seperti pada tahun 2013 di Kuala Krueng Doy, Gampong Merduati, Banda Aceh. Kawasan itu, menurutnya dulunya memang masuk dalam wilayah Gampong Pande yang merupakan salah satu pusat kerajaan di Aceh.

Maka dari itu, Husaini menyebut, jika orang Aceh sebenarnya harus kembali. Dalam artian, kembali kepada dasar apa yang menjadi potensi daerah. Sehingga Aceh yang namanya pernah besar dan menjadi salah satu jalur rempah penting di dunia tidak hilang di telan zaman.

“Daerah kita adalah daerah pertanian. Jadi kembali ke daerah pertanian, perkebunan. Itu sebenarnya yang harus dikembangkan,” kata dia.

Terkait ekspor lada, lanjut Husaini, dari dulu Aceh menjadi semacam primadona dan ini menjadi daerah yang ramai di jalur maritim. Ini juga sebenarnya harus dikembangkan. Untuk itu, Pelabuhan-pelabuhan di Aceh harus dihidupkan kembali, dan tanaman lada harus diaktifkan kembali, petani juga wajib diberi subsidi.

“Aceh memiliki potensi yang hebat. Tapi sekarang karena dipengaruhi oleh berbagai tantangan, sehingga kini dianggap itu tidak menghasilkan,” ujarnya.

Menurutnya, saat ini banyak orang meninggalkan hal-hal kegiatan seperti itu, karena harga rempah dulu sempat anjlok, sehingga masyarakat pelan-pelan mulai meninggalkannya dan beralih ke tanaman lain.

Untuk itu, Husaini berharap agar budaya pada era kerajaan dahulu harus dibiasakan kembali, budaya menanam tanaman rempah, atau yang menjadi potensi di daerah.

Hal itu, kata Husaini, juga sangat tergantung kepada kondisi daerah, dan apabila Pemerintah sekarang sudah ingin menghidupkan kembali jalur rempah. Maka pemerintah dalam hal ini juga berkomitmen untuk terus mempertahankan itu semua, dan masyarakat juga harus diberikan bantuan.

“Orang Aceh sekarang memiliki tanah, jadi tanah itu harus dipertahankan. Jadi tanah itu jangan dibiarkan terbengkalai begitu saja, jadi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin,” ujar dia. []

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button