DISTORI.ID – Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki sejarah Islam yang kaya. Ini disebabkan oleh keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Aceh pada masa lampau. Pada abad ke-13 Masehi, muncul kerajaan Pasai, diikuti oleh kerajaan Darussalam (abad 13-15 Masehi), dan kemudian muncul Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada abad ke-16 Masehi.
Bahkan sebelum abad tersebut, sekitar abad ke-7, Aceh sudah memiliki kerajaan besar seperti Kerajaan Lamuri dan Perlak, meskipun statusnya masih diperdebatkan di kalangan sejarawan.
Dengan latar belakang sejarah yang kaya seperti itu, tidak mengherankan jika Aceh kini dipenuhi dengan peninggalan sejarah seperti bangunan bersejarah, makam kuno, naskah kuno, dan seni ukir Islam yang sering ditemukan di batu nisan. Semua ini menunjukkan bahwa Aceh sudah memiliki masa kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, pembangunan, dan perdagangan jauh sebelumnya.
“Menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi Sultan Aceh Darussalam pada abad ke-16 Masehi”
Salah satu contoh nyata dari peninggalan sejarah ini adalah kompleks Makam Kandang XII yang terletak di Gampong Kampung Baru, Kelurahan Keraton, Kecamatan Baiturahman, Kota Banda Aceh. Kompleks makam ini berjarak sekitar 500 meter dari Masjid Raya Baiturrahman, menjadi tempat peristirahatan terakhir bagi Sultan Aceh Darussalam pada abad ke-16 Masehi.
Menurut sejarawan Aceh, Rusdi Sufi, dalam bukunya yang berjudul “Batee Jirat (Nisan) Aceh sebagai Aset Parawisata”, nisan-nisan ini bukan hanya merupakan bagian dari tradisi pemakaman Islam, tetapi juga merupakan artefak arkeologi yang penting untuk dipelajari. Mereka tidak hanya menunjukkan proses pemakaman dan ritual keagamaan, tetapi juga memberikan informasi tentang bentuk dan arsitektur makam pada masa itu.
Namun, meskipun begitu banyak peninggalan bersejarah yang ada, banyak masyarakat awam yang tidak memahami makna di balik warisan budaya tersebut. Hal ini memicu keprihatinan bahwa suatu saat peninggalan ini bisa hilang begitu saja dan jejak sejarah Islam di Aceh akan lenyap.
Seni kaligrafi Islam yang terdapat pada batu nisan makam para raja, panglima perang, dan tokoh-tokoh penting Aceh beserta keluarganya, menjadi bukti nyata dari kekayaan sejarah dan seni budaya Islam di Aceh. Motif kaligrafi ini mencerminkan keindahan seni Islam pada masa itu dan memperlihatkan perpaduan antara aksara Arab dengan motif-motif lokal Aceh.
Kompleks makam seperti ini tersebar di Kota Banda Aceh dan Samudra Pase. Meskipun memiliki kesamaan dengan makam-makam di daerah lain, bentuk dan gaya arsitektur makam di Aceh memiliki ciri khas tersendiri. Sebagai contoh, makam Malik as-Shaleh di Pase memiliki gaya bangunan yang unik dan memiliki persamaan dengan makam-makam di Gujarat.
Kaligrafi Arab yang dihiasi pada batu nisan makam-makam ini memperlihatkan keindahan seni Islam pada masa itu, dengan gaya tulisan Thuluth A yang mendominasi jenis tulisan lainnya.
Secara keseluruhan, makam-makam kuno ini bukan hanya sekadar situs bersejarah, tetapi juga menyimpan kekayaan seni dan nilai-nilai budaya Islam yang perlu dilestarikan dan dipahami oleh generasi mendatang.
Hingga hari ini, Makam Kandang XII tetap menjadi tempat yang dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia yang tertarik pada sejarah dan kebudayaan Aceh. Pengunjung dapat menikmati keindahan arsitektur klasiknya sambil merenungkan jejak sejarah yang terukir dalam setiap sudutnya.
Bagi para pengunjung yang ingin mengenal lebih dalam tentang sejarah dan budaya Aceh, Makam Kandang XII menjadi pilihan yang tepat. Di antara gemerlapnya kota modern, makam ini tetap menjadi cahaya yang memancar dari masa lalu. []