“Apa hukum mencicipi makanan saat puasa? Apakah membatalkan puasa?”
DISTORI.ID – Salah satu nikmat agung yang Allah Swt berikan kepada umat Islam adalah mempertemukan kembali dengan bulan yang sangat mulia, berupa bulan Ramadan, untuk kembali menunaikan rutinitas ibadah wajib setiap tahun selama satu bulan penuh berupa puasa.
Maka, sudah seharusnya untuk benar-benar menjaga ibadah wajib ini dengan benar, mulai dari kewajiban, seperti syarat dan rukunnya, serta menghindari hal-hal yang bisa membatalkannya.
Namun terkadang, dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan, banyak gangguan yang selalu bermunculan yang bisa menjadi penyebab batalnya puasa, seperti makan dan minum di siang hari dengan sengaja.
Hukum Mencicipi Makanan Saat Puasa
Lantas, apa hukum mencicipi makanan saat puasa? Apakah membatalkan puasa? Mencicipi rasa makanan saat puasa pada dasarnya tidak termasuk bagian dari sesuatu yang membatalkan puasa. Sebab, mencicipi tidak sama dengan menelan makanan.
Mencicipi hanyalah upaya untuk memastikan bahwa rasa makanan itu benar-benar sesuai dengan selera, dan tidak sampai tertelan ke dalam perut. Karena tidak sampai tertelan, maka para ulama menilai tidak membatalkan puasa dan hukumnya pun juga diperbolehkan jika memang diperlukan.
Ini Merujuk pada pendapat Imam Ibnu Abbas ra, yang mengatakan bahwa boleh-boleh saja orang puasa mencicipi sesuatu ketika sedang puasa, sebagaimana dikutip oleh Syekh Badruddin al-‘Aini dalam salah satu karyanya, ia mengatakan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْخَلَّ، أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
Artinya, “Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Tidak masalah apabila seseorang mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk pada kerongkongan, dan ia dalam keadaan berpuasa.” (Al-Aini, Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ihya At-Turats], juz XVI, halaman 379).
Sementara itu, Syekh Sulaiman As-Syafi’i Al-Makki berpendapat bahwa hukum asal dari mencicipi rasa makanan bagi orang yang sedang puasa adalah makruh jika memang tidak ada kebutuhan (hajat) untuk mencicipinya. Sebab, mencicipi makanan bisa berpotensi membatalkan puasa. Namun jika ada kebutuhan, seperti juru masak, maka hukumnya boleh-boleh saja dan tidak makruh. Syekh Sulaiman berkata:
وَيُكْرَهُ ذَوْقُ الطَّعَامِ أَوْ غَيْرِهِ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْرِيْضِ الصَّوْمِ لِلْفَسَادِ، وَهَذا اِذَا لَمْ تَكُن حَاجَة. أَمَّا الطَّبَّاخُ رَجُلًا كَانَ أَوْ اِمْرَأَةً فَلاَ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ كَمَا لَايُكْرَهُ المَضْغُ لِطِفْلٍ
Artinya, “Dimakruhkan (bagi orang berpuasa) mencicipi makanan atau selainnya, karena hal tersebut bisa berpotensi membatalkan puasa. Dan (hukum makruh) ini apabila tidak ada kebutuhan (hajat). Sedangkan juru masak, baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak makruh baginya untuk mencicipi makanan, sebagaimana tidak dimakruhkan mengunyah (makanan) untuk anak kecil.” (Sulaiman Al-Makki, At-Tsimarul Yani’ah fir Riyadhil Badi’ah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah], halaman 157).
Pendapat lain yang mengatakan hukum mencicipi makanan saat puasa tidak membatalkan dan hukumnya boleh juga disampaikan oleh golongan ulama Kufah (Kufiyun). Ia menilai bahwa puasanya sempurna dan tidak batal selama rasa makanan yang ia cicipi tidak tertelan, sebagaimana dikutip oleh Syekh Abul Hasan Al-Bakri Al-Qurthubi:
وَأَمَّا ذَوْقُ الطَّعَامِ لِلصَّائِمِ، فَقَالَ الْكُوْفِيُوْنَ: إِذَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ لَا يُفْطِرُهُ، وَصَوْمُهُ تَامٌ
Artinya, “Adapun mencicipi makanan bagi orang yang puasa, maka ulama Kufah mengatakan: jika (rasa makanan tersebut) tidak sampai masuk tenggorokan (tertelan), maka tidak membatalkan, dan puasanya sempurna (tidak makruh).” (Syekh Abul Hasan, Syarh Shahihil Bukhari, [Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd: 2003], juz IV, halaman 58).
Simpulan Hukum Mencicipi Makanan saat Puasa
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan, hukum mencicipi makanan saat puasa tidak membatalkannya selama tidak tertelan. Hanya saja, hukumnya makruh jika memang tidak ada kebutuhan, dan tidak makruh jika ada kebutuhan, sebagaimana pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah.
Namun, Imam Hasan Al-Bashri dan ulama Kufah membolehkan mencicipi makanan secara mutlak, baik dalam keadaan membutuhkan atau tidak. Wallahu a’lam. Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur. [NU Online]