DISTORI.ID – Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala (USK) bersama Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP) menggelar Focus Group Discussion (FGD) untuk membangun persepsi dan harmonisasi pemberdayaan hewan ternak di lanskap Leuser.
Kegiatan ini dibuka oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kewirausahaan USK Prof Mustanir, di The Pade Hotel, Aceh Besar, Senin (24/7/2023).
Ketua Pelaksana kegiatan ini Prof Darmawi, mengatakan hutan merupakan sumber harapan sehingga perlu kita jaga dan konservasi. Sebab itu, interaksi antara manusia, hewan dan hutan harus terjalin harmonis.
Hal inilah yang mendorong FKH USK dan WCS-IP untuk membangun kesamaan presesi dan harmonisasi, terhadap pemberdayaan ternak di daerah-daerah yang sering terjadi interaksi negatif terutama pada empat daerah yang merupakan kawasan lanskap Gunung Leuser yaitu Subulussalam, Singkil, Aceh Tenggara dan Aceh Selatan.
Karena itu, kegiatan ini melibatkan 54 peserta yang berasal dari lembaga pemerintah provinsi dan daerah dari empat kabupaten/kota tersebut.
“Jadi program ini sangatlah penting karena menjaga barrier [penghalang-pemisah] ekosistem Leuser dan masyarakat yang tinggal terutama di kaki Gunung Lesuer,” ucapnya.
Prof Darmadi berharap, FGD ini menghasilkan suatu ketetapan terutama desa yang targetkan untuk dilakukan program pemberdayaan. Termasuk di antaranya program vaksinasi minimal untuk 2.000 ekor hewan ternak, serta penyuluhan kepada peternak di kawasan yang kerap terjadi interaksi negatif hewan.
Selanjutnya, Dekan FKH USK, Teuku Reza Ferasyi, menyampaikan bahwa kerja sama kegiatan tahun ini fokus pada soft program perancangan dan koordinasi. Selanjutnya, pada tahun berikut akan dilakukan kegiatan langsung di lapangan.
Prof Mustanir dalam sambutannya mewakili Rektor USK mengatakan, pimpinan USK sangat menyambut terlaksananya kegiatan ini. Mengingat selama ini ekosistem Leuser mendukung kehidupan lebih empat juta orang, terutama air bersih dari 43 daerah aliran sungainya.
Namun di sisi lain, fungsi ekosistem Leuser ini terancam karena beberapa sebab, di antaranya perluasan argoindustri, pembangunan infrastruktur dan lainnya. Kondisi ini mendorong satwa liar untuk mencari makanan di kawasan permukiman masyarakat.
Kondisi ini juga berpotensi terjadinya lompatan pathogen (organisme kecil penyebab infeksi) dan transmisi penularan penyakit antara masyarakat, satwa liar dan hewan ternak yang dapat berujung munculnya wabah, epidemi dan pandemi.
Untuk diketahui, sekitar 75 persen dari penyakit infeksius baru berasal dari hewan, terutama satwa liar sebelum akhirnya menular ke manusia.
“Oleh karena itulah, perlu ada upaya bersama untuk membantu masyarakat yang bermukim di pinggiran hutan, agar tidak terdampak kemungkinan risiko kesehatan tersebut. Dan kegiatan ini, adalah ikhtiar kita bersama untuk mencegah risiko tersebut,” ucapnya. []
Editor: M Yusrizal