DISTORI.ID – Aceh, bukan hanya terkenal lewat pantai dan wisata alamnya saja. Ada bermacam situs sejarah yang tersimpan di berbagai lokasi yang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Salah satunya, Lonceng Cakra Donya yang terletak di Museum Aceh, di Banda Aceh, Aceh.
Bagi masyarakat Aceh, Lonceng bersejarah yang diperkirakan dibuat pada Tahun 1409 Masehi ini sudah tidak asing lagi. Lonceng yang berbentuk stupa memiliki tinggi 125 cm dan lebar 25 cm masih kokoh tergantung di halaman Museum Aceh. Inilah saksi bisu kuatnya armada militer Kerajaan Aceh Darussalam di masa jayanya.
Menurut sejarah, lonceng ini adalah hadiah Kaisar Yonglee yang berkuasa di daratan Cina kepada kerajaan Samudra Pasai, sebagai wujud persahabatan kedua kerajaan. Lonceng ini diantarkan langsung oleh Laksamana Ceng Ho ketika melakukan lawatan ke Aceh guna membangun kerja sama dalam bidang keamanan dan perdagangan.
Oleh karena itu, armada laut yang dimiliki oleh Kerajaan Samudera Pasai sangat kuat bahkan memiliki kapal induk terbesar di Dunia yang akhirnya di rebut oleh kerajaan dari Portugis lalu di serahkan ke Spanyol.
“Akan tetapi lonceng ini tidak direbut oleh Portugis karena ini adalah hadiah termegah dari kerajaan China dan bentuk ikatan persahabatan dengan China. Mungkin dengan pertimbangan itu, lonceng ini tidak pernah direbut oleh penjajah mana pun,” kata salah seorang Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi Abdul Hamid beberapa waktu lalu.
Kemudian, saat Kerajaan Pasai takluk di tangan Kerajaan Aceh Darussalam pimpinan Sultan Ali Mughayatsyah pada 1542 M, lonceng itu disita dan dibawa ke Koetaradja (Sekarang Banda Aceh), pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Lonceng ini awalnya diletakkan di atas kapal perang Sultan Iskandar Muda bernama Cakra Donya yang merupakan kapal induk milik armada Aceh pada waktu itu. Karena ukurannya yang sangat besar, Bangsa Portugis pernah menyebutnya dengan nama Espanto del mundo atau teror dunia.
Lonceng ini selanjutnya diberi nama Lonceng Cakra Donya. Nama ini diambil dari kapal perang tersebut. Cakra berarti kabar, dan Donya artinya dunia, sehingga Lonceng Cakra Donya dapat diartikan sebagai kabar dunia.
“Inilah salah satu bukti kedigdayaan maritim Aceh pada waktu itu. lonceng ini dulu dipergunakan sebagai alat pemanggil bila ada sesuatu yang darurat di laut,” katanya.
Setelah tak digunakan di kapal dan sebelum di letakkan di halaman Museum Aceh, lonceng Cakradonya sempat digantung di kompleks istana Darul Dunia disudut kanan Masjid Raya Baiturrahman. Lonceng ini sering dibunyikan ketika penghuni istana harus berkumpul untuk mendengar maklumat sultan.
Baru pada tahun 1915, dari Masjid Raya Baiturrahman, lonceng tersebut kemudian dipindah ke Museum Aceh, hingga sekarang.
“Lonceng itu sempat ditempatkan di komplek istana Darul Duia disudut kanan Masjid Raya Baiturrahman guna memanggil orang shalat, tanda berbuka puasa dan lain-lain,” ujarnya.
Nah, bagi kalian yang ingin menghabiskan liburan di Banda Aceh, tidak ada salahnya untuk melirik benda pusaka yang sudah berusia ratusan tahun ini dan memiliki nilai sejarah yang tinggi.
Lokasinya tentu saja di Museum Aceh. Selain lonceng, pengunjung juga bisa melihat beberapa koleksi asli Aceh lainnya yang berada di dalam museum. Sejauh ini UPTD Museum Aceh sudah melakukan digitalisasi sebanyak 3.530 koleksi dari total keseluruhan 6.038 item bersejarah di museum tersebut.
Adapun 3.530 koleksi yang telah di digitalisasi tersebut terbagi dari 10 jenis koleksi yakni geologika 30 item, biologika 30, etnografika 827, arkeologika 109. Kemudian, historika 408 item, numismatika 409, filologika 941, keramonologika 597, seni rupa 173, dan teknologika enam item. []