OPINI

Harta di Perut Andaman: Mimpi Besar Rakyat Aceh di Tengah Kemiskinan dan Kekacauan Politik

Oleh: Ilham Zamzam (Penulis Lepas)

Aceh, tanah rencong yang pernah berjaya sebagai kerajaan besar dan simbol perlawanan, kini berdiri di persimpangan antara kekayaan melimpah dan kemiskinan yang mencekik.

Di balik megahnya Masjid Raya Baiturrahman dan eloknya Pantai Lampuuk, tersimpan harta karun energi yang belum sepenuhnya tergali: cadangan gas alam raksasa di wilayah Andaman. Namun pertanyaannya, apakah kekayaan itu akan menjadi berkah bagi rakyat Aceh, atau justru kutukan yang memperpanjang penderitaan?

Wilayah perairan Andaman di barat Aceh kini menjadi pusat perhatian dunia energi. Ladang-ladang gas seperti Blok Andaman I, II, dan III tengah dieksplorasi oleh perusahaan energi internasional seperti Harbour Energy, Mubadala Energy, dan BP.

Pemerintah Indonesia menyebut kawasan ini sebagai “hotspot” energi masa depan, bahkan menyandingkannya dengan potensi gas di Afrika. Namun di tengah gegap gempita investasi triliunan rupiah, rakyat Aceh masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan—bagai raja tanpa mahkota di istananya sendiri.

Aceh yang Kaya, Rakyat yang Miskin

Potret kemiskinan di Aceh masih seperti lukisan kelabu yang tak kunjung memudar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa Aceh secara konsisten menempati posisi lima besar provinsi termiskin di Indonesia, meski telah menerima Dana Otonomi Khusus (Otsus) sejak 2008.

Di desa-desa pesisir Aceh tempat pengeboran gas mulai dilakukan, anak-anak masih harus berjalan kaki berkilo-kilometer untuk bersekolah, para petani berharap pada hujan yang tak pasti, dan nelayan terombang-ambing tanpa kepastian penghasilan karena laut yang makin rusak.

Lebih memilukan lagi, dunia pendidikan di Aceh seakan kapal tanpa nakhoda. Banyak sekolah rusak, kurikulum tidak terurus, dan para guru muda memilih menjadi honorer dengan masa depan yang suram.

Lembaga pendidikan Islam, yang dahulu menjadi kebanggaan, kini banyak yang kekurangan fasilitas dan menurun kualitas pengajarannya. Padahal, pendidikan adalah pintu awal agar generasi Aceh dapat menjadi tuan di negeri sendiri—bukan sekadar kuli di ladang gas miliknya.

Politik Aceh: Dari Damai ke Kekisruhan Baru

Setelah penandatanganan damai Helsinki pada 2005, harapan pun membuncah: Aceh akan bangkit sebagai provinsi yang stabil secara politik dan mandiri secara ekonomi. Sayangnya, realitas berkata lain. Politik lokal dipenuhi konflik internal, perebutan kekuasaan antarpartai, dan berbagai dugaan korupsi terhadap dana Otsus yang belum juga terang.

Dana Otsus, yang semestinya menjadi kendaraan menuju kemajuan, kini bagai mobil mewah yang mesinnya rusak—diperebutkan banyak pihak, namun tak membawa kemana-mana. Banyak partai lokal justru lebih sibuk mempersiapkan kontestasi elektoral ketimbang menyusun kebijakan yang berpihak pada rakyat. Lobi untuk mengelola gas Andaman pun terjebak dalam tarik-ulur kepentingan antara elite lokal, pemerintah pusat, dan investor asing.

Padahal, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya Pasal 160 hingga 165, Aceh berhak atas 70 persen pendapatan dari sektor migas. Namun kekuatan hukum ini tak berarti banyak jika para elite politik lebih sibuk bertikai sesama sendiri daripada bersatu memperjuangkan hak-hak rakyat.

Lobi, Regulasi, dan Jalan Terjal Keadilan Energi

Secara geopolitik energi, Aceh memiliki daya tawar tinggi. Letaknya yang strategis, potensi gas yang besar, serta kekhususan pemerintahan adalah modal politik yang berharga untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat dan investor. Namun, kekuatan ini akan rapuh tanpa suara yang solid dan tujuan yang jelas.

Yang dibutuhkan Aceh saat ini bukan sekadar kontrak investasi baru, tetapi kontrak sosial yang kokoh antara pemerintah, masyarakat, dan investor. Harus ada transparansi dalam pengelolaan hasil gas, pelibatan aktif masyarakat lokal, serta komitmen perusahaan dalam membangun sumber daya manusia Aceh. Janji CSR saja tidak cukup; Aceh membutuhkan transformasi menyeluruh.

Gas sebagai Jalan Pembebasan, Bukan Penjajahan Baru

Gas Andaman harus menjadi sumber pembebasan dari kemiskinan, bukan mesin penjajahan gaya baru. Pemerintah Aceh perlu menyusun ulang rancangan besar pembangunan sektor energi dengan prinsip keberlanjutan, keadilan sosial, dan kemandirian. Dunia pendidikan pun harus dibenahi agar generasi muda Aceh mampu tampil sebagai insinyur, ekonom, dan teknokrat yang mengelola sumber daya mereka sendiri.

Sementara itu, masyarakat sipil, ulama, dan kalangan akademisi harus menjadi pengawas aktif. Jangan sampai potensi Andaman menjadi kisah pahit seperti Freeport di Papua atau Blok Cepu di Jawa. Aceh sudah terlalu lama menjadi korban eksploitasi; kini saatnya berdiri sebagai pemilik sah dan pengelola utama sumber dayanya.

Andaman bukan sekadar ladang gas—ia adalah ladang masa depan. Jika dikelola dengan visi, hukum, dan keberpihakan pada rakyat, Andaman bisa menjadi jalan keluar dari kegelapan kemiskinan menuju terang kemakmuran. Namun jika dibiarkan liar tanpa arah, ia bisa menjadi sumur kutukan yang hanya memperdalam luka Aceh. []

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button