DISTORI.ID – Era kejayaan Aceh pada masa lampau berhubungan erat dengan produksi dan perdagangan rempah. Hal ini dapat ditelusuri dari sejarah ekonomi-perdagangan rempah, hubungan diplomasi Aceh dengan negara luar dan persaingan pedagang Eropa untuk menguasai jalur rempah, hingga berkembangnya imperialisme.
Hal itu terungkap dalam seminar internasional dengan tema “Jejak Sejarah Jalur Rempah” bagian dari rangkaian kegiatan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) ke-8, di UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, Senin (6/11/2023).
“Dari sisi budaya, rempah Aceh telah membentuk jiwa dan semangat yang kuat dalam hal etos kerja, semangat migrasi ke kawasan baru, kepemimpinan, kelembagaan berdasarkan nilai-nilai dan adat Aceh,” ujar Sanusi M Syarif, salah satu pemateri dalam seminar tersebut.
Dijelaskannya, adat Aceh kemudian dijadikan rujukan dalam pembentukan masyarakat baru di seuneubok- seuneubok lada, khususnya yang dibuka oleh perantau dari Aceh (Aceh Besar), Pidie, Peusangan (Bireuen) dan Pase. Penerapan adat dalam pengelolaan kebun lada dan sistem bagi hasil berpusat pada sistem seuneubok.
“Seuneubok merupakan suatu wilayah pertanian khususnya lada. Dalam wilayah tersebut ditinggali oleh sekelompok petani yang terorganisir, seperti hadirnya peutua seuneubok sebagai pemimpin masyarakat di kelompok tersebut,” jelas Sanusi.
Kehadiran dan peran lembaga peutua peuneubok sangat diperlukan, bukan hanya dalam memimpin pembukaan seuneubok, namun juga menertibkan para pendatang lain yang kemudian membuka kebun lada di sekitar atau berdampingan dengan seuneubok lada yang dipimpinnya.
Mencengangkan, Sanusi mengungkap, pembukaan seuneubok lada di Aceh telah dilakukan ratusan tahun yang lalu dengan sangat terstruktur. Fakta sejarah tersebut, kata Sanusi, dapat ditelusuri mulai dari Pantai Barat-Selatan Aceh pada abad ke-18 hingga ke kawasan Pantai Timur Aceh pada paruh awal abad ke-19 masehi.
Diperkirakan sebelumnya, lembaga seuneubok sudah cukup berkembang di wilayah Pidie dan Aceh Rayeuk. Hal ini cukup beralasan, karena dari kedua wilayah ini, kata Sanusi, lada kemudian berkembang ke Pantai Barat-Selatan Aceh pada abad ke-17.
Dalam perkembangannya, wilayah dan suatu seuneubok diakui sebagai sebuah gampong (desa), terutama ketika para aneuk seuneubok (generasi petani di suatu seuneubok) telah memilih untuk menetap di kawasan tersebut.
“Pada saat sekarang, proses perubahan status seuneubok sebagai satuan masyarakat terkecil yang terbentuk dari para petani lada menjadi gampong masih dapat ditelusuri dari sejarah lisan yang berkembang dalam masyarakat,” paparnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, kehadiran seuneubok-seuneubok lada tersebut memberikan sumbangan besar bagi tumbuhnya negeri-negeri baru di Pantai Timur Aceh.
Hingga pertengahan abad ke-19, telah terbentuk belasan kenegerian baru yang tumbuh dari seuneubok lada, seperti Kenegerian Julok Rayeuk, Idi Rayeuk, Simpang Ulim, Tanjong Seumantok, Julok Cut, Bugeng, Bagok, Idi Cut, Sungai Yu, Peudawa Rayeuk dan Sungai Raya.
“Negeri-negeri yang berawal dari seuneubok lada tersebut, dibuka oleh pendatang dan Pase, IX Mukim Tungkop (Aceh Besar), Pidie, Lhokseumawe dan Peusangan,” ujarnya.
Lebih dari satu abad kemudian, gambaran serupa juga terjadi pada abad ke-20 di wilayah Babahrot Aceh Selatan (sekarang Aceh Barat Daya). Kawasan ini mulai ramai menjadi tumpuan perantau sekitar tahun 1970-an.
Para pendatang tersebut, kata Sanusi, sebagian berasal dari Kecamatan Kuala Batee, sebagian lagi berasal dari sekitar Blang Pidie, Manggeng, Labuhan Haji, Meukek, Sawang hingga Samadua.
Sejarah seuneubok lada, ujar Sanusi, merupakan salah satu kajian penting untuk memetakan jejak sejarah jalur rempah di Aceh bahkan Nusantara. Jalur ini yang sebelumnya dipetakan oleh para pedagang dunia bahkan negara-negara kolonial untuk memburu rempah Aceh. []
Editor: M Yusrizal