Uncategorized

Dan, bacalah artikel ini secara diam-diam!

DISTORI.ID – Ada banyak pelajaran hidup yang kita dapati. Sialnya, tak banyak dari kita yang mampu memahami pelajaran-pelajaran itu. Celakanya, kita kerap mengulangi kesalahan yang sama. Biasanya, kesalahan terulang karena kita kurang teliti. Kita mudah percaya pada orang lain namun malah sebaliknya pada diri sendiri.

Meski kita menerapkan kualifikasi pada orang yang kita percaya, namun peristiwa Adam-Hawa harusnya cukup menjadi pelajaran berharga. Sayangnya, meski manusiawi, kita kerap lupa pada sejarah. Kita lupa pada peristiwa di masa lalu disebabkan ketulusan tanpa dibarengi ilmu pengetahuan. Kita lupa manusia itu makhluk yang mudah berubah, kita lupa hati manusia mudah dibolak-balik.

Dampaknya kemudian, kita menjadi ladang bagi perbuatan dusta, nista, oleh mereka yang kita percayai. Bahkan oleh mereka yang kita sayangi, oleh mereka yang kita anggap baik, jujur, serta akhlakul kharimah lainnya. Meski kita korban namun kita juga salah. Kita membuka peluang perbuatan jahat datang pada kita. Lalu, haruskah kita curiga pada setiap tindakan orang lain?

Menurut pandangan Stoa, tidak perlu. Sederhananya, harus punya sikap bijaksana. Tak perlu curiga karena itu di luar kendali kita, namun tetap bersiap dengan segala kemungkinan. Kesiapan itu akan melahirkan sikap syukur. Kita cepat mengetahui integritas orang-orang yang kita kenal. Pada situasi tertentu, apakah ia memegang integritasnya atau kondisional.

Lalu yang bisa kita lakukan ialah mendoakan. Semoga ia sadar bahwa menghancurkan bangunan rumah tidak akan membuat teras lebih indah. Ya, tindakan emosional tidak terukur, dilandasi anggapan dan angan-angan seolah menjadikan kita pahlawan. Padahal, bumi adalah tempat Adam dihukum karena beranggapan atau berangan-angan soal kekalan di surga.

Begitulah kita (manusia), siap menghalalkan segala cara demi anggapan. Padahal Allah sedang menguji, apakah demi anggapan itu ia akan menghalalkan segala cara atau tidak. Sama halnya ketika para pemabuk sulit mengontrol diri. Barangkali ia merasa sangat berkuasa, begitu pula mereka yang mabuk cinta dan tahta.

Anggapan berkoalisi dengan angan menyatu. Mereka anggap itu adalah kepemilikan, padahal semua termasuk waktu yang kita miliki adalah titipan. Tampaknya wajar seorang penyair kerap bertanya pada rumput yang bergoyang. Barangkali diam adalah solusi terbaik.

Syech Abdul Qadir Jailani pernah mengatakan, “diamlah agar engkau mendengar dengan jernih suaramu sendiri”. Kita sering abai suara hati kita, suara Illahi di dalam diri kita. Kita dijajah oleh anggapan dan angan-angan. Bahkan kita jarang melirik kematian.

Ada baiknya kita diam, biarkan para aktor memainkan lakon mereka. Kita ambil hikmah dari kisah itu, minimal jangan sampai kita mengulangi hal yang sama. Minimal kita paham mana kesejatian, mana kepura-puraan. Setelah selesai, beranjak lah kemana pun Allah membawa. Siapa tahu, di area berbeda kita lebih bahagia. Kita tidak lagi dijadikan badut, tidak lagi dijadikan bahan tertawaan.

Saatnya kita diam dan menonton. Menyaksikan pahlawan bertopeng, permaisuri, badut, budak, beradu akting. Tertawa lah bila ada adegan lucu, namun sewajarnya, menangislah bila ada adegan sedih, namun tetap diam kembali. Jangan mengusik drama yang sedang ditonton, jangan ganggu penonton lainnya.

Dan bacalah artikel ini secara diam-diam. Ajaklah angin, kopi, dan rumput yang bergoyang ketika membacanya. Kemudian pikirkan dengan seksama, apakah ada di antara saudara, sahabat, teman, bahkan orang yang Anda sayangi berperan sebagai aktor dan aktris yang membuat Anda harus diam. Jika ada, mulailah diam dan tersenyumlah. Sebuah tanda perpisahan tanpa marah dan dendam. Sebuah kalimat tegas yang tidak terucapkan. Percayalah, mereka pelajaran hidup yang datang atas takdir Ilahi.

Dan artikel ini bukan satire, sindiran atau sejenis lainnya. Hanya bagian dari nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Karena pada hakekatnya, tujuan hidup adalah berbuat baik dan benar termasuk kepada mereka yang telah jahat pada kita. Lupakan kejahatan mereka dan selalu ingat kebaikan mereka. Bila tak mampu menjadi ikan di lautan yang tak pernah asin, maka menjauhlah atau diam.

Jadilah tanah yang tetap diam meski diinjak-injak. Karena suatu hari tanah akan mengubur mereka yang menginjak-injak. Diamnya tanah telah menyuburkan pohon-pohon yang buahnya dinikmati manusia. Toh kita memang berasal dari tanah, jadi wajar bila sesekali menghadirkan jiwa tanah dalam kehidupan kita. []

Penulis | Don Zakiyamani

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button