DISTORI.ID – Polemik tenaga kerja anak telah menjadi persoalan yang belum terselesaikan oleh pemerintah Indonesia, sehingga jumlahnya terus mengalami peningkatan.
Hal itu disebutkan anggota DPRK Aceh Tamiang, yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia Legislasi DPRK setempat, Jayanti Sari dalam artikelnya yang berjudul “Potret Tenaga Kerja Anak Indonesia”.
Menurutnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah pekerja anak tahun 2017 berjumlah 1,2 juta dan meningkat 0,4 juta atau menjadi sekitar 1,6 juta pada 2019.
“Sektor pekerjaan yang dilakoni oleh tenaga kerja anak yakni pertanian, perkebunan, perikanan, jalanan, prostitusi dan rumah tangga,” tulis Jayanti dalam artikel itu yang dikutip, Rabu (15/3/2023).
Ia menyebut, pekerja anak cenderung bekerja dalam waktu yang cukup lama dan berada pada pekerjaan yang eksploitatif.
Sementara itu, berdasarkan Data Sakernas 2019 menunjukkan anak yang berpendidikan SD, SMP, SMA memiliki jam kerja lebih dari 40 jam per minggu.
“Lantas, dimana pemerintah kita atas fenomena anak negerinya? Pemerintah Indonesia memiliki banyak kebijakan terkait perlindungan hak anak,” tanya dia.
Ia menuturkan, terdapat dalam UUD 1945, Undang-undang nomor 20 tahun 1999 tentang usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, UU nomor 1 tahun 2000 tentang Pelanggaran dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan seperangkat kebijakan yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia, kata dia, seolah-olah belum mampu untuk menjamin hak-hak anak. Dampaknya nyata dengan sebaran tenaga kerja anak hampir di seluruh wilayah di Indonesia.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2019, wilayah dengan tenaga kerja anak tertinggi yakni Jawa (565 ribu), Sumatra (445 ribu), Sulawesi (195 ribu), Nusra (122 ribu), Kalimantan (96 ribu), Papua (91 ribu), Bali (24 ribu), dan Maluku (18 ribu).
Adapun rata-rata usia pekerja anak 10-17 tahun dan melakukan pekerjaan berat dan ini jelas menyalahi aturan UU no 20/1999 yang menerangkan bahwa untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas) tahun, kecuali untuk pekerjaan ringan tidak boleh kurang dari 16 (enam belas) tahun.
Kompleksitas persoalan tenaga kerja anak membutuhkan kolaborasi antara berbagai pihak dalam penyelesaiannya. Pemerintah melakukan kolaborasi dengan lembaga pendidikan formal dan non-formal. Pemerintah meningkatkan pendidikan yang terintegrasi pada program pengentasan kemiskinan dan menghapus pekerja anak.
Selain itu juga pemerintah melakukan kemitraan dengan swasta dan Komunitas. Kemitraan ini dilakukan untuk menjalankan ketaatan atas standar ketenagakerjaan, tidak memberikan toleransi terhadap pekerja anak. Selanjutnya berkolaborasi dengan media untuk meningkatkan kesadaran tentang pekerja anak.
Anak-anak dianggap sangat berharga, baik sebagai diri mereka sendiri maupun sebagai sumber daya manusia yang akan menentukan masa depan negara. Pekerja anak tidak hanya menghentikan anak-anak untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan yang dibutuhkan, tetapi juga melanggengkan kemiskinan. [ADVERTORIAL]
Laporan | Zulfitra