DISTORI.ID – Perimbangan kekuatan di bagian barat Nusantara tahun 1630 terbagi menjadi empat, yakni Aceh, Johor, Portugis di Malaka, dan Belanda di Batavia (sekarang Jakarta).
Dikutip dari buku “Memetakan Masa Lalu Aceh” suntingan R. Michael Feener, Patrick Daly dan Anthony Reid, pada tahun-tahun tersebut Belanda mulai merencanakan serangan ke Malaka.
Belanda berusaha keras membujuk Aceh untuk sama-sama menyerang Portugis di Malaka. Padahal, Johor telah menyatakan kesediaan bergabung bersama Belanda untuk menyerang Malaka, namun, Belanda tetap melirik Aceh dan memilih mengabaikan Johor.
Bukan tanpa alasan Belanda mengajak Aceh, selain sebagai partner dagang yang sejajar, Aceh juga memiliki sentimen anti Portugis yang telah lama tertanam.
Iskandar Muda mangkat, Iskandar Thani naik takhta dan Belanda terus-menerus mengirimkan pejabatnya untuk membujuk Aceh agar berkomitmen dalam menyerang Portugis.
Tercatat, tanggal 22 April 1638, JR van Deutecom utusan Belanda tiba di Aceh. Ketika kembali ke Batavia pada 26 Agustus, dia telah berhasil mendapatkan hak dagang istimewa, juga jaminan bahwa Aceh akan menyerang Malaka dengan bantuan Belanda.
Akan tetapi, setelah Deutecom pergi, ada berita penyerangan daerah Pahang oleh Kesultanan Johor. Pukulan ini sangat dirasakan oleh Sultan Iskandar Thani, sebab ia adalah sultan berketurunan Pahang.
Pada 18 Oktober 1638 utusan Aceh tiba di Batavia, menyarankan agar penyerangan ke Malaka ditunda hingga ekspedisi pembalasan telah kembali dari Johor dan Pahang.
Ketika utusan Aceh meninggalkan Batavia pada 21 Mei 1639 dan tiba di Aceh tanggal 27 Juni, mereka dikawal oleh pasukan Belanda pimpinan Paulus Croocq.
Ketika Croocq bertanya mengenai penyerangan ke Malaka, dia mendapatkan penjelasan dari Sultan Iskandar Thani, bahwa dirinya ingin menyelesaikan urusan dengan Pahang dulu.
Croocq meninggalkan Batavia tanggal 5 September dan tiba di Jakarta pada 11 November. Akhirnya, pada tanggal 10 April 1640, utusan Belanda Jean de Meere dikirim ke Aceh.
Saat itu, Iskandar Thani dengan terus terang menolak membantu Belanda kecuali mereka memutuskan segala bentuk hubungan dengan Johor.
Sebaliknya, Belanda justru berkoalisi dengan Johor, hingga pada tanggal 14 Januari 1641, kekuasaan Portugis di Malaka jatuh ke tangan Belanda tanpa melibatkan Aceh.
Sultan Iskandar Thani mengirimkan surat kepada Pangeran Fredrik Hendrik—panglima tinggi Belanda—dibawa ke Batavia oleh utusan Aceh yang menemani Croocq pada akhir misinya, diperkirakan ditulis pada akhir Agustus atau awal September 1639.
Surat tersebut dibawa ke Belanda pada Desember 1639, atas perintah pribadi komandan pasukan yang saat itu meninggalkan Batavia, Nicolaes Leendersz Cockeb.
Misi Croocq dianggap tidak sukses oleh Batavia, bukan hanya dia gagal mendapatkan jaminan bantuan militer dan perdagangan, tetapi hadiah sultan untuk Batavia dianggap tidak bernilai.
Ketika Croocq meninggalkan Aceh, ia mendapat titipan keris untuk Gubernur Jendral seharga (menurut standar Batavia) 200 real, dan untuk dirinya dan anggota yang lain, beberapa keris yang berharga sangat rendah.
Hadiah Iskandar Thani untuk Pangeran Fredrik Hendrik, salah satunya adalah batu guliga besar, juga diperkirakan tidak asli.
Surat tersebut dibuka dengan sebuah daftar panjang gelar dan sebutan Sultan Iskandar Thani, dan setelah itu menyampaikan pujian kepada sang Pangeran dan anggota militernya, dan memuji persahabatan antara dua negeri yang telah terpelihara semenjak almarhum Makota Alam Iskandar Muda.
Iskandar Thani kemudian mengatakan telah mengirim utusan ke Batavia, kepada Gubernur Jendral Anton van Diemen, menekankan kembali keinginan Aceh untuk menyerang Malaka.
Iskandar Thani mencoba membangkitkan rasa dendam kepada Johor dengan mengingatkan kenangan akan aliansi Johor dengan Portugis, dan meminta Belanda untuk memerangi Johor terlebih dahulu.
Sebab, kata Iskandar Thani, kesulitan bagi Aceh dan Belanda akan segera datang disebabkan Johor sedang menggalang dukungan dari Siam (sekarang Thailand-Kamboja-Laos), Patani (sekarang wilayah selatan Thailand) dan beberapa negara tetangga untuk melindungi Malaka.
Menyinggung soal perdagangan, Iskandar Thani mengingatkan Belanda bahwa Aceh telah menyerahkan upeti tahunan—diperkirakan sebesar satu bahar emas—untuk menjamin hak eksklusif berdagang di pantai barat, dan meminta Belanda untuk berhenti mempermalukan pedagang-pedagang India di Aceh.
Atas permintaan Van Diemen untuk berdagang di Pahang, Iskandar Thani memberikan kesempatan, tetapi memastikan bahwa ini bukan hak eksklusif. Sebagai hadiah, Iskandar Thani menyerahkan dua buah batu emas dan empat mutiara bezoar.
Sebagaimana umumnya surat-surat raja Melayu, surat ini didesain khusus sebagai surat diplomatik, dengan nada pujian bombastis dan kata-kata indah untuk menyampaikan pesan negatif.
Walaupun Iskandar Thani menolak untuk menyerang Malaka, yang merupakan tujuan utama Belanda, tetapi karena keinginan untuk menyelesaikan krisis Pahang, semua pikiran dan tenaga saat itu diarahkan dalam konteks yang lebih luas untuk penyerangan Malaka, tampaknya sebagai usaha untuk mendapatkan bantuan Belanda.
Jadi, surat tersebut dimulai dengan sebuah gertakan, bahwa ‘kami akan buat Malaka menderita’, dan ekspedisi militernya ke Pahang untuk mengusir Johor dari daerah tersebut dideskripsikan hanya untuk memutuskan jalur suplai Malaka.
Iskandar Thani kemudian menyodorkan strategi jangka panjang berkonsentrasi untuk secara perlahan-lahan memutuskan jalur suplai Malaka, sehingga akan mudah untuk menaklukkannya.
Iskandar Thani menegaskan, strategi ini sebagai tanggung jawab seorang pemimpin untuk meminimalkan jumlah korban dan pihaknya, sesuatu yang jelas mengacu pada jumlah korban pada serangan Iskandar Muda ke Malaka tahun 1629.
Hanya pada beberapa baris berikutnya Iskandar Thani berusaha keras membujuk Belanda untuk membantu menyerang Johor, yang dia gambarkan sebagai syarat untuk bisa menaklukkan Malaka. []
Editor: M Yusrizal