DISTORI.ID – Paska diberlakukan Qanun Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada 4 Januari 2019, Provinsi Aceh diharapkan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia. Pasalnya Qanun LKS itu mewajibkan semua lembaga keuangan, mulai bank, leasing, asuransi, koperasi, dan lembaga serupa lainnya untuk menjalankan bisnisnya dengan menerapkan prinsip syariah.
Sejak saat itu, semua lembaga keuangan menyesuaikan sistem dari Konvensional ke sistem syariah. Beberapa lembaga perbankan besar di Aceh yang tetap konsisten dengan prinsip syariah pun mengalami pertumbuhan aset dan Dana Pihak Ketiga (DPK) secara signifikan. Karena adanya peralihan nasabah dari konvensional ke syariah, sesuai dengan amanah qanun.
Hadirnya Qanun LKS ini merupakan upaya Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk melakukan islamisasi sistem perbankan. Tujuannya agar terlaksananya syariat islam secara kaffah di semua sektor, termasuk sektor keuangan dan muamalah.
Karena dengan ekonomi syariah akan terciptanya sistem ekonomi yang berlandaskan pada prinsip keadilan, keseimbangan, dan kemaslahatan. Lembaga keuangan syariah dinilai menjadi instrumen strategis yang menopang perekonomian dan resiliensinya juga teruji.
Di awal-awal penerapan Qanun LKS memang sempat menimbulkan kegaduhan karena persoalan teknis di kalangan masyarakat pada masa transisi. Hal itu, karena adanya perubahan yang spontan, membuat para nasabah terkaget-kaget dan belum beradaptasi dengan sistem yang baru meskipun sesungguhnya sistem ekonomi syariah ini sudah menjadi ‘Urf (Kebiasaan) masyarakat Aceh secara tatanan kehidupannya yang menganut Islam dari sejak dahulu kala hanya saja belum tersistemkan.
…masyarakat Aceh pun kian beradaptasi dengan aktivitas sistem keuangan syariah di Aceh.
Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat Aceh pun kian beradaptasi dengan aktivitas sistem keuangan syariah di Aceh. Lembaga keuangan syariah telah memegang peranan penting dalam perputaran ekonomi. Kondisi itu pun membantah keraguan sejumlah pihak yang menyatakan ekonomi Aceh akan berjalan di tempat jika diberlakukan Qanun LKS ini.
Nyatanya, perekonomian Aceh terus berputar. Terlihat dari data, pada tahun 2024, realisasi KUR untuk usaha masyarakat di Aceh justru melebihi angka 100 persen, dengan angkanya mencapai Rp3,8 triliun.
Kunjungan wisatawan mancanegara ke Aceh juga mengalami peningkatan. Dalam lima tahun terakhir investasi sektor akomodasi juga tumbuh dengan baik. Ekonomi syariah semakin menguatkan posisi Aceh sebagai tujuan utama dalam wisata halal.
Pada November lalu, pihak BPS Aceh merilis jika pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan III-2024 naik jadi 5,17 persen. Angka ini naik 2 persen jika dibandingkan triwulan II-2024.
Pelaksanaan PON Aceh-Sumut, Pekan Kebudayaan Aceh (PKA), hingga pertumbuhan aset pada perbankan syariah menjadi penyumbang utama terhadap tumbuhnya perekonomian Aceh.
Masyarakat Aceh yang dalam falsafah hidupnya sangat menjunjung tinggi hukum Islam, kini tak lagi dihadapkan pada kegamangan dalam menggunakan sistem keuangan. Kekhawatiran mereka akan sentuhan riba pun tuntas.
Namun dalam implementasinya, sistem ekonomi syariah memiliki banyak tantangan yang harus dihadapi. Mulai dari masyarakat yang masih ragu orisinalitas syariah pada lembaga keuangan syariah, hingga kemampuan memfasilitasi transaksi masyarakat Aceh dengan relasinya di luar Aceh, maupun luar negeri.
Tantangan dan hambatan dalam pelaksanaan ekonomi syariah harus dihadapi secara bersama-sama oleh pelaku usaha LKS hingga pemerintah.
Lalu bagaimana nasib ekonomi syariah di Aceh setelah Pilkada? Akankah Muzakkir Manaf-Fadhlullah yang terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh mampu mewujudkan cita-cita menjadikan Aceh sebagai episentrum ekonomi syariah.
Jika menelisik dari visi-misi Mualem Dekfadh, mereka memang mengusung visi Terwujudnya Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan. Dalam salah satu poinnya disebutkan juga melaksanakan kemandirian ekonomi Aceh dengan berbasis pada sektor unggulan Aceh.
Nah, dari visi dan misi ini tergambar sebuah harapan besar kepada pertumbuhan ekonomi syariah di Aceh sangat bergantung pada gubernur dan wakil gubernur terpilih yang akan segera dilantik.
Jika memberikan perhatian penuh pada perkembangan ekonomi syariah, Mualem-Dek Fadh telah merealisasikan dua hal sekaligus, pelaksanaan syariat Islam dalam aspek kehidupan masyarakat dan menumbuhkan perekonomian masyarakat.
Jika melihat poin melaksanakan kemandirian ekonomi Aceh dengan berbasis pada sektor unggulan Aceh. Maka dari data BPS, sektor pertanian dan perdagangan dari dua penyumbang terhadap PDRB Aceh. Pemimpin Aceh terpilih harus memiliki rencana yang nyata untuk mewujudkannya.
Langkah pertama, Pemerintah Aceh, lembaga keuangan syariah dan dunia pendidikan harus berkolaborasi dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang memahami ekonomi dan keuangan syariah. Karena SDM yang memahami ekonomi syariah lah yang akan menjadi pelaku ekonomi Aceh ke depan.
Selanjutnya, memberi jaminan terhadap regulasi agar semakin kuat dengan menciptakan regulasi-regulasi turunan dari Qanun LKS tersebut sebagai dukungan kegiatan ekonomi syariah masyarakat dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Termasuk memperkuat peran dan fungsi dari Dewan Syariah Aceh (DSA) sebagai amanat dari Qanun LKS. Regulasi menjadi sektor paling penting terhadap ekonomi, karena memberikan kejelasan dan jaminan terhadap investasi di Aceh
Kemudian, pemerintah harus fokus dalam melihat sektor unggulan Aceh dalam penerapan ekonomi syariah. Misalnya dengan mengembangkan sektor pertanian dan peternakan yang lebih luas dengan dukungan infrastruktur yang memadai.
Pasar muslim masih sangat besar dan belum sepenuhnya tergarap.
Karena provinsi Aceh yang penduduknya beragam Islam, maka akan semakin terpercaya dalam mengelola produk pertanian dan peternakan secara halal, sesuai dengan syariah. Pasar muslim masih sangat besar dan belum sepenuhnya tergarap.
Pengembangan UMKM, yaitu dengan menciptakan ruang akses mudah kepada pelaku usaha kecil dengan Lembaga Keuangan Syariah. Karena dengan adanya pembiayaan, maka usaha UMKM dapat berkembang dan berkontribusi terhadap ekonomi Aceh hingga mengurangi pengangguran.
Kemudian pada sektor pariwisata, di tengah gencarnya Kementerian Pariwisata RI mem-branding Indonesia sebagai tujuan wisata halal, maka Aceh harus menjadi pemain utama dalam sektor ini. Karena sejak dulu pariwisata Aceh sudah ramah muslim, tentu tidak perlu banyak perubahan dan persiapan lagi.
Data Kemenpar, kunjungan wisatawan muslim ke Indonesia pertahun capai 3,9 juta orang dengan sumbangan devisa sekitar Rp 40-an triliun.
Selama ini Aceh memang sudah menjadi tujuan bagi wisatawan Malaysia. Jika selama ini dalam sebulan angka kunjungan berkisar 2-3 ribu orang, maka kedepan pemerintah harus mampu menarik lebih banyak lagi, dari total 34 juta penduduk Malaysia.
Tak hanya Malaysia, juga masih ada Brunei Darussalam, Singapura, Thailand, Filipina Selatan, Pakistan hingga negara-negara Arab harus jadi fokus Aceh ke depan dalam melebarkan pasar pariwisatanya.
Kemudian, ZISWAF (Zakat infaq Sadaqah dan Wakaf) harus menjadi fokus pemerintah karena merupakan sebuah instrumen distribusi kekayaan dalam sistem ekonomi syariah. Di Aceh ZISWAF dapat menjadi instrumen fiskal yang kemudian jadi penggerak ekonomi. Aceh dengan penduduknya Islam, tentu potensi ZISWAF sangat besar.
Dengan harapan besar dan keinginan untuk berkembang, tentu semuanya berharap Aceh harus berhasil dalam melaksanakan ekonomi syariah. Karena ekonomi syariah di Aceh juga akan memperkuat ekonomi kerakyatan secara masif dan merata. Sehingga nanti, Aceh dapat menjadi laboratorium ekonomi syariah dan menjadi rujukan bagi daerah lainnya.
Namun yang paling penting, pihak-pihak yang berwenang harus mampu meyakinkan dan membuktikan kepada masyarakat Aceh, bahwa sistem keuangan syariah atau ekonomi syariah lebih baik dan memberi syafaat lebih besar daripada sistem konvensional. []
Penulis: Marhaban, Mahasiswa program doktoral Fiqh Modren UIN Ar Raniry