OPINI

Lubuk Sukon, Museum Hidup Arsitektur Aceh yang Terinspirasi dari Desa Warisan Dunia Korea

Penulis: Fenita Muthia

MENELUSURI jalanan perkampungan di Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar, kita seakan melangkah ke lorong waktu. Rumah-rumah panggung berarsitektur Aceh masih berdiri dengan tiang-tiang kayu yang kokoh, dinding papan bertatah ukiran, dan atap rumbia yang dulu menjadi simbol kearifan lokal.

Namun, panorama itu kian langka di desa- desa lain. Satu per satu, rumah-rumah tradisional mulai berganti rupa. Mulai dari ditinggalkan, runtuh dimakan usia, atau dirobohkan demi bangunan beton yang lebih modern.

Tapi tidak untuk Lubuk Sukon, meski beberapa bangunan rumah tradisional di desa ini telah mengalami penambahan ruang sehingga merubah sebagian bentuk tetapi semangat masyarakat untuk tetap menjaga identitas Rumoh Aceh tetap menyala.

Sebagian besar rumah-rumah di Lubuk Sukon adalah rumah tradisional Aceh atau biasa dikenal dengan sebutan Rumoh Aceh. Desa ini bukan sekadar ruang tinggal, tetapi museum hidup yang mencerminkan kekayaan arsitektur, nilai-nilai adat, serta hubungan harmonis antara manusia dan lingkungannya.

Apa itu Konservasi Rumoh Aceh?

Konservasi Rumoh Aceh merupakan bagian dari upaya perlindungan, pelestarian, dan pemulihan rumah adat tradisional Aceh agar tetap lestari, baik dari segi bentuk fisik, nilai budaya, maupun fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Konservasi ini tidak hanya bertujuan menjaga bangunannya dari kerusakan atau kepunahan, tetapi juga mempertahankan identitas budaya Aceh yang melekat pada arsitektur dan tata ruang Rumoh Aceh.

Setidaknya ada lima alasan utama yang saling berkaitan, dan semuanya tercermin nyata dalam kehidupan di Lubuk Sukon. Pertama, Rumoh Aceh sebagai Identitas Budaya yang Tak Tergantikan. Rumoh Aceh bukan sekadar bangunan, melainkan lambang jati diri dan identitas masyarakat Aceh.

Rumah ini memuat filosofi hidup yang telah diwariskan turun-temurun, mencerminkan nilai religius, adat, dan kehidupan sosial. Dengan struktur dan orientasi rumah yang unik menghadap kiblat, terbagi dalam ruang yang jelas fungsinya Rumoh Aceh memperlihatkan bagaimana budaya Aceh mengatur kehidupan sehari-hari warganya.

Di Lubuk Sukon, rumah adat ini masih dipertahankan secara serius oleh masyarakat, karena mereka memahami bahwa kehilangan rumah berarti kehilangan ciri khas yang membedakan Aceh dari daerah lain. Ketika rumah tradisional hilang dan digantikan dengan bangunan modern yang seragam, identitas budaya pun ikut memudar.

Kedua, Cerminan Kearifan Lokal dalam Merespon Alam. Arsitektur Rumoh Aceh adalah manifestasi dari kearifan lokal yang sangat adaptif terhadap lingkungan tropis. Struktur panggung yaitu meninggikan rumah dari tanah bukan hanya soal estetika, tapi juga perlindungan praktis dari banjir dan hewan liar.

Penggunaan material alami seperti kayu seumantok, ijuk, rotan, dan daun rumbia yang mudah diperbaharui menjadikan rumah ini ramah lingkungan dan berkelanjutan. Lubuk Sukon mempertahankan rumah-rumah ini bukan tanpa alasan, mereka sadar bahwa bentuk dan bahan bangunan ini telah menyesuaikan diri dengan iklim dan ekosistem setempat selama berabad-abad. Ketahanan alami ini memungkinkan rumah tetap nyaman tanpa bergantung pada energi listrik yang besar.

Ketiga, Penjaga Ingatan Kolektif dan Sejarah Lokal. Rumoh Aceh di Lubuk Sukon bukan hanya bangunan tua, melainkan ruang yang menyimpan sejarah hidup masyarakat. Banyak rumah telah berdiri lebih dari puluhan tahun, menyaksikan berbagai perubahan sosial, politik, dan ekonomi di Aceh.

Dalam rumah-rumah ini tersimpan cerita keluarga, tradisi adat, hingga pengalaman kolektif yang sulit bahkan tidak ditemukan di tempat lain. Dengan melestarikan rumah ini, masyarakat Lubuk Sukon menjaga keberlangsungan memori kolektif yang menjadi pondasi kuat identitas budaya Aceh. Kehilangan rumah adat berarti juga kehilangan hubungan dengan masa lalu dan akar budaya, yang dapat berdampak pada krisis jati diri masyarakat di masa depan.

Keempat, Sarana Edukasi Budaya Bagi Generasi Muda. Pelestarian Rumoh Aceh di Lubuk Sukon secara tidak langsung menciptakan ruang pembelajaran budaya yang alami dan efektif. Anak-anak tumbuh di lingkungan di mana rumah adat menjadi bagian dari keseharian mereka, mengenal makna, fungsi, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tanpa perlu pengajaran formal.

Kehadiran rumah-rumah ini menjadi media penting untuk meneruskan kearifan lokal dan identitas budaya ke generasi muda. Mereka belajar menghargai sejarah, adat, dan cara hidup leluhur mereka dengan cara yang paling alami, sehingga memupuk rasa tanggung jawab terhadap warisan budaya.

Kelima, Potensi Ekonomi Budaya dan Wisata Desa. Lubuk Sukon tidak hanya menyimpan nilai budaya, tetapi juga potensi ekonomi yang besar melalui pengembangan pariwisata budaya. Rumah-rumah adat yang masih asli dan terawat dapat menarik minat wisatawan, peneliti, dan akademisi yang ingin belajar langsung tentang arsitektur tradisional dan kehidupan masyarakat Aceh.

Pengembangan desa sebagai destinasi wisata budaya yang berkelanjutan dapat memberikan sumber penghidupan alternatif bagi masyarakat, sekaligus mendorong mereka untuk terus melestarikan warisan budaya tanpa harus mengorbankan nilai asli rumah adat.

Inspirasi dari Desa Hahoe dan Yangdong Korea

Desa bersejarah Hahoe dan Yangdong di Korea merupakan dua desa bersejarah yang paling representatif di Korea. Tata letak dan lokasinya mencerminkan budaya Konfusianisme. Melihat praktik pelestarian yang sukses seperti yang dilakukan di Desa Hahoe dan Yangdong Korea, kedua desa tersebut telah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO berkat keberhasilan dalam merawat lanskap budaya dan arsitektur tradisional nya secara utuh, tanpa mengorbankan perkembangan zaman.

Mengambil inspirasi dari Hahoe dan Yangdong, strategi konservasi desa ini terletak pada upaya mempertahankan keaslian (authenticity) dan keutuhan (integrity) dari warisan budaya, baik dari sisi arsitektur, lanskap, hingga praktik sosial-budaya yang masih berlangsung.

Pada desa Hahoe upaya konservasi yang dilakukan memberikan batas kawasan perlindungan warisan budaya mencakup zona penyangga bersama dan dalam beberapa kasus bahkan memperluas perlindungan ke lingkungan yang lebih luas. Untuk Desa Yangdong, batas kawasan perlindungan warisan budaya mencakup wilayah desa dan sebagian kecil zona penyangga, dan properti pinggirannya

Desa Hahoe dan Yangdong tidak hanya melestarikan bangunan saja tetapi konservasi alam juga sangat dijaga seperti pegunungan, sungai dan hutan. Elemen-elemen ini tidak hanya menjadi elemen pelindung fisik tetapi juga mencerminkan filosofi Konfusianisme yang kuat. Oleh karena itu, kawasan hutan, tepi sungai, dan pandangan visual dari paviliun juga termasuk dalam area yang dilindungi.

Sebagai cerminan arsitektur tradisional Aceh yang kaya akan nilai sejarah dan budaya, Desa Lubuk Sukon saat ini berada di ambang kehilangan identitas ruang yang telah diwariskan secara turun-temurun. Melalui pembelajaran dari praktik konservasi yang diterapkan di Desa Hahoe dan Yangdong di Korea.

Lubuk Sukon dapat diarahkan menuju upaya konservasi yang berkelanjutan. Diperlukan komitmen bersama antara masyarakat, akademisi, dan pemerintah untuk menyusun kebijakan perlindungan yang menyeluruh, termasuk penetapan zona property dan zona penyangga.

Zona property meliputi desa Lubuk Sukon dan bangunan-bangunan Tradisional Aceh sedangkan untuk zona penyangga meliputi lahan pertanian tradisional, pekarangan rumah, hutan, hingga situs-situs sakral atau tempat kegiatan adat seperti meunasah.

Langkah tersebut bukan hanya mempertahankan bangunan bersejarahnya, tetapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai budaya yang melekat, sehingga dapat menjadi contoh inspiratif pelestarian desa tradisional di Indonesia sebagaimana Hahoe dan Yangdong menjadi ikon warisan dunia di Korea. []

Penulis adalah Mahasiswa Program Magister Arsitektur, Universitas Syiah Kuala.

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button