“…mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa mereka yang membantu Belanda telah menjadi orang-orang kafir”.
DISTORI.ID – Meski sultan telah menyerah, perjuangan rakyat Aceh tidak berhenti karena para ulama dan pemimpin-pemimpin daerah meneruskan perjuangan mereka memimpin para pejuang melawan Belanda.
Karena tentara Aceh tidak berada dalam satu komando, kekuatan tempur bisa beroperasi secara bebas di bawah arahan para ulama dan pemimpin-pemimpin daerah.
Kekuatan pertahanan militer Aceh yang demikian solid berhasil menghadang serangan Belanda pada awal-awal perjuangan. Akan tetapi, ketika akhirnya Belanda berhasil menguasai beberapa daerah Aceh.
Beberapa pemimpin lokal (hulubalang/uleebalang) menandatangani sebuah traktat yang mengakui kekuasaan Belanda atas Aceh. Mereka yang menyerah, termasuk T. Nanta, ‘Abd al-Rahman dan T. Muda Baid, mereka dikritik dengan keras dalam Hikayat Prang Sabi (HPS).
Ketika para ulama terus memimpin perang, fatwa mengenai banyak hal menyangkut perang diterbitkan. Shaykh ‘Abbas Ibn Muhammad-lebih dikenal dengan nama Tgk. Chik Kutakarang–menyatakan bahwa wilayah yang telah jatuh ke tangan Belanda dianggap dar al-harb (wilayah perang). Karena itu, apa pun yang berada dalam wilayah tersebut boleh diambil oleh warga Muslim.
Tgk. Chik Kutakarang juga mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa mereka yang membantu Belanda telah menjadi orang-orang kafir. Tuanku Hashim bahkan menyarankan orang-orang Aceh yang membantu Belanda secara hukum layak dibunuh.
Tgk. Chik Di Tiro mengulangi pernyataan ini dalam sebuah surat kepada orang-orang yang tinggal di daerah yang telah diduduki Belanda. Beliau menambahkan warga Muslim yang berada di daerah kekuasaan Belanda harus segera berpindah (hijrah) ke area yang masih dalam wilayah kekuasaan Islam.
Bahkan, Tgk. Chik Di Tiro menulis surat kepada Belanda, mengajak mereka untuk memberlakukan Islam hukum sebagai prasyarat untuk tercapainya sebuah persetujuan damai.
Dalam melakukan itu, Chik Di Tiro tidak bermaksud menyerah, berhenti berjuang melawan Belanda Akan tetapi, permintaan beliau bisa dimengerti sebagai usaha untuk mengimplementasikan pandangan klasik ahli hukum Islam untuk mengundang (da’wah) orang-orang kafir menjadi Islam sebelum menyerang mereka.
Namun, perlu diingat bahwa pandangan klasik tersebut sebenarnya lebih ditujukan dalam perang untuk melebarkan daerah kekuasaan Islam.
Balasan surat komandan perang Belanda Van Tijn kepada Chik Di Tiro menyatakan persetujuan untuk membuat perjanjian damai, dengan alasan telah jatuh ribuan korban tewas dalam peperangan. Akan tetapi, dia menolak ajakan Chik Di Tiro untuk memberlakukan Islam sebagai prasyarat perjanjian damai, karena Belanda, menurut sang komandan tidak bermaksud menggelar perang agama.
Dari korespondensi ini tampak kedua pihak memiliki perbedaan mendasar dalam memandang perang. Namun, dalam perkembangan lebih lanjut, perang dinilai dari sisi proporsionalitas.
Ketika menyerah pada Belanda dianggap bijaksana
Tahun 1909, tiga pemimpin Aceh, Tuanku Mahmud, Tuanku Raja Keumala dan T. Panglima Polem, meminta para ulama yang masih berperang untuk menyerahkan diri (taslim), dengan mengklaim bahwa telah tiba saatnya untuk menggunakan akal sehat (ijtihad).
Semenjak orang-orang Aceh tidak lagi mampu menandingi kekuatan perang Belanda, penyerahan diri dianggap sebagai solusi paling bijaksana karena Belanda juga tidak mencampuri urusan agama masyarakat setempat. Pada titik ini, pertimbangan kemungkinan keberhasilan dalam perang harus menjadi bahan pemikiran.
Para ahli hukum Islam klasik setuju bahwa para tentara Islam harus sadar akan kekuatan mereka sendiri, terutama dalam jumlah armada. Malik Ibn Anas dan Ibn Rush melihat kekuatan dalam hal kemampuan militer. Dalam keadaan sangat tidak mungkin untuk menang, orang Islam diperkenankan membuat perjanjian damai dengan musuh demi kebaikan mereka sendiri. []
Editor: M Yusrizal
Disadur dari buku “Memetakan Masa Lalu Aceh” suntingan R. Michael Feener, Patrick Daly dan Anthony Reid.