DISTORI.ID – Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal memenuhi undangan khusus dari Kantor Cabang Zhejiang Kantor Berita Xinhua dan Pemerintah Rakyat Kota Wenzhou, Provinsi Zhejiang, China, untuk menjadi salah satu pembicara pada ajang Maritime Silk Road Conference.
Di forum internasional yang berfokus pada kerja sama pariwisata budaya, perdagangan, dan sektor terkait tersebut, Illiza melalui presentasinya, menggaungkan kembali Banda Aceh sebagai bagian penting dari “jalur sutra” maritim dunia, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Menurutnya, Banda Aceh yang terletak di ujung barat Indonesia adalah titik awal Jalur Sutra Maritim di Asia Tenggara. “Sejak abad ke-15, pelabuhan kami telah menjadi tempat persinggahan kapal dari Tiongkok, Arab, dan India, membawa rempah, sutra, ilmu, dan nilai-nilai peradaban.”
Begitu ungkap Illiza di hadapan perwakilan Unesco dan World Tourism Alliance, pejabat pemerintah dari berbagai kota di sepanjang jalur sutra maritim, kota-kota pariwisata terkemuka dunia, termasuk perwakilan senior berbagai platform sosial dan pariwisata terkemuka seperti TikTok, Tripadvisor, Trip.com, dan Fliggy, Kamis, 20 November 2025, waktu setempat.
“Kami dikenal sebagai Serambi Mekkah, bukan sekadar karena religiusitasnya, tapi karena keterbukaannya terhadap dunia. Banda Aceh adalah pusat peradaban Islam tertua di Asia Tenggara. Warisan Kesultanan Aceh Darussalam masih hidup hingga kini, mulai dari keagungan Masjid Raya Baiturrahman, hingga jejak sejarah di Gunongan,” ujarnya.
Nilai yang dirinya pegang dalam pembangunan kota sederhana namun bermakna Faith, Culture, and Harmony dan dibungkus dalam satu visi besar, yaitu “Banda Aceh Kota Kolaborasi”. “Di mana kami menekankan kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk menciptakan kota yang modern, inklusif, dan berdaya saing.”
Dalam semangat itu pula, Illiza memperkenalkan brand pariwisata “Charming Banda Aceh”. Sebuah identitas yang merepresentasikan lima pesona: wisata budaya dan seni, tsunami dan ketangguhan, religi dan sejarah Islam, kuliner, dan wisata bahari melalui sinergi Basajan :Banda Aceh, Sabang, dan Jantho.
Selain pariwisata, Banda Aceh kini tumbuh sebagai pusat ekonomi kreatif. “Melalui identitas baru Banda Aceh, Kota Parfum Indonesia, kami mengembangkan potensi tanaman aromatik lokal seperti nilam, kenanga, dan melati,” kata Illiza.
Belum lama ini, bersama Universitas Syiah Kuala dan pelaku UMKM, Banda Aceh berhasil mengekspor 1 ton minyak nilam ke Prancis senilai Rp1,5 miliar. “Kami ingin aroma Banda Aceh bukan hanya tercium di pasar dunia, tapi juga menjadi simbol kreativitas dan kemandirian ekonomi yang berakar pada nilai Islam.”
Selanjutnya, Illiza mengupas hubungan Banda Aceh dan Tiongkok yang telah terjalin sejak masa Dinasti Ming. “Catatan sejarah menyebutkan bahwa pada 1602, Sultan Alauddin Riayat Syah mengirim utusan ke Kaisar Wanli, membawa rempah dan kapur barus sebagai tanda persahabatan.”
“Diplomasi itu berlanjut di masa Sultan Iskandar Muda. Dan hingga kini, artefak keramik Dinasti Ming masih ditemukan di Gampong Pande dan Lamreh. Hal ini adalah bukti nyata hubungan damai antara Aceh dan Tiongkok,” ujarnya.
Menurut Illiza, dewasa ini di abad ke-21, para pihak tidak lagi berlayar dengan kapal dagang, tapi dengan kapal persahabatan dan kerja sama. Ia pun menawarkan peluang kolaborasi baru berupa promosi wisata lintas negara From Wenzhou to Banda Aceh: The Maritime Silk Route Experience.
Tawaran dimaksud juga meliputi investasi pariwisata halal dan waterfront city, pertukaran SDM untuk pelatihan pariwisata, hospitality, dan teknologi digital, dan Smart Tourism Collaboration: integrasi data destinasi dan promosi berbasis AI.
“Kami juga membuka sektor pendukung kolaborasi: pengembangan rute penerbangan Banda Aceh-Kuala Lumpur-Wenzhou/Guangzhou, Kolaborasi media digital melalui TikTok/Douyin, Trip.com, Fliggy, dan WeChat, serta dukungan logistik dan branding lintas negara untuk promosi wisata, UMKM, dan event budaya,” sebutnya.
Menutup presentasinya, Illiza mengungkapkan Banda Aceh kota kecil di ujung barat Indonesia, tapi semangatnya besar, semangat untuk menjaga warisan, membangun kolaborasi, dan menebar kedamaian.
“Melalui Jalur Sutra Maritim, kami ingin mengirim pesan sederhana kepada dunia: bahwa dari sejarah, kita belajar tentang kebersamaan. Dari budaya, kita belajar tentang kemanusiaan. Dan dari kolaborasi, kita menumbuhkan masa depan yang damai dan berkeadilan. May our partnership sail together for peace, prosperity, and shared humanity,” demikian Illiza Sa’aduddin Djamal. []






