OPINI

Plt Meugang, Kudeta Kebijakan di Aceh?

DISTORI.ID – Sebentar lagi Ramadan datang. Dalam tradisi masyarakat Aceh, kedatangan Ramadan disambut dengan suka-cita. Selain ziarah kubur, meugang menjadi salah satu tradisi penting lainnya. Sejarah panjang meugang hingga kini masih terawat dengan baik.

Bila dahulu raja membagikan daging kepada rakyatnya, tampaknya kini akan kembali dilakukan pemerintah Aceh. Hal itu terindikasi dengan pergantian dua Pelaksana Tugas (Plt) di Pemerintahan Aceh. Plt Dirut Bank Aceh Syariah (BAS) dan Sekda Aceh.

Pergantian yang tampak tergesa-gesa, tidak krusial apalagi profesional. Bahkan dilakukan ketika Gubernur Aceh, Mualem, masih di luar Kota Banda Aceh. ‘Kudeta’ kebijakan yang seharusnya tak perlu terjadi. Namun mengingat meugang sudah dekat, pergantian harus dilakukan.

Plt Dirut Bank Aceh

Penunjukkan Plt Dirut BAS katanya sesuai UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Ditunjuk berdasarkan keputusan Dewan Komisaris bank plat Aceh itu. Tambahan argumen lainnya disampaikan sekretaris BAS, Iskandar, mitigasi risiko dalam pengelolaan bank tidak bertumpu pada satu orang.

Kita barangkali boleh bertanya, apa bedanya Plt dahulu dan sekarang. Argumen normatif lainnya silahkan baca di media cetak dan online. Kita semua maklum namun ada yang tidak masuk akal.

BAS tidak butuh Plt diganti Plt, harusnya proses Dirut definitif yang segera dilakukan. Ini demi eksistensi lembaga keuangan itu tidak turun pangkat. Kekosongan yang terlalu lama itu yang harus segera diisi. Apalagi pengangkatan Plt tanpa kehadiran Mualem, apakah ini langkah Dek Fadh membodohi Mualem?

Mereka pasti membantah, Mualem tahu dan semua sesuai prosedur. Argumen ini tidak dapat dibuktikan. Mualem tidak sebodoh yang mereka kira. Ia tahu prosedur, meski sekarang dijawab bahwa Mualem tahu, itu hanya demi menjaga stabilitas politik. Ya, Mualem disandera?

Namun pergantian yang tidak penting ini kemudian memunculkan pertanyaan baru; “inikah persiapan meugang”? ada lembu dan kambing serta kerbau yang harus dipotong. Entah itu secara implisit maupun eksplisit.

Selama ini BAS memang ‘sapi’ perah bagi para elit. Lihatlah bagaimana kantor pusat yang terbakar, hingga kini tak mampu dibangun. Terlalu banyak elit politik ‘menetek’ pada BAS. Akibatnya BAS hanya menjadi BUMD (Badan Usaha Milik Don). Siapa Don itu? mereka yang berkuasa di pemerintahan.

Mereka yang tidak paham aturan perbankan namun suka gonta-ganti Dirut BAS karena hasrat politik. Dan pergantian Plt Dirut BAS dianggap solusi. Mitigasi yang disebutkan sekretaris BAS hanya bagian cara penguasa melakukan bias informasi. Berakibat pada bias kognitif, sayangnya BAS lupa, kita tak sebodoh yang disangka.

Sudah jadi rahasia umum, permainan politik di BAS lebih dahsyat. Wajar bila BAS tidak ada kemajuan apapun. Kalau teknis seperti aplikasi Action, itu sudah kewajiban bukan kemajuan. Itu adaptasi terhadap permintaan zaman. Karenanya, BAS setiap hari mengalami bias kognitif karena kewajiban dianggap kemajuan, apalagi dianggap prestasi. Dan semakin parah ketika Dirut dipilih asalkan siap menjadi  ‘boneka’ politisi.

Dosa ekonomi ini harus dihentikan. Kita butuh BAS yang profesional. BAS yang berjalan sesuai kode-etik perbankan, memahami kebutuhan zaman dan tentunya yang kreatif serta inovatif. Sudahi status ‘sapi perah’ politisi Aceh.

Plt Sekda

Sebungkus kopi dengan Plt Dirut BAS, pengangkatan Sekda Aceh juga tak jauh beda. Mualem sudah definitif, lalu mengapa Sekda Aceh harus Plt. Apakah ini juga kerja Dek Fadh, dan Mualem hanya mengiyakan karena demi stabilitas diri dan politik.

Jangan-jangan benar isu yang berkembamg. Mualem hanya Gubernur secara simbolistik, Dek Fadh lah Gubernur Aceh yang sebenarnya. Bila demikian, bek syeh syoh, kita tunggu saja daging meugang dari pemerintah melalui Plt Dirut BAS dan Sekda Aceh yang baru.

Masih segar dalam ingatan kita, Plt Sekda ASN aktif yang dengan terang-terangan mendukung salah satu calon gubernur. Bukannya diberi sanksi malah diangkat menjadi Sekda. Apakah PNS seperti ini yang akan menjadi contoh bagi PNS lainnya? Apakah aturan bahwa PNS tidak boleh berpolitik praktis hanya berlaku bagi mereka yang di bawah? Mari tanyakan pada moral Anda.

Disclaimer, artikel ini bukan pesanan siapa pun, mengingat bukan anggota parpol maupun tim sukses siapa pun. Hanya pesanan moral yang terusik oleh langkah-langkah politik yang tidak bermanfaat.

Politik yang mencampuri urusan profesional sehingga berakibat pada bias kognitif. Dilanjutkan bias psikomotorik dan tentunya bias moral.

Bias kognitif biasa terjadi di tengah-tengah kita. Itu terjadi akibat salah informasi. Adanya manipulasi berita maupun penyimpangan makna yang dilakukan penguasa. Hal itu dilakukan oleh penguasa yang bias moral.

Penguasa yang bias moral akan menanamkan nilai-nilai yang salah. Tujuannya demi mempertahankan kuasa. Ini lazim kita dapati di ranah politik kita, termasuk di Aceh.

Pengangkatan Plt Dirut BAS dan Plt Sekda merupakan contoh sederhana dan nyata. Selain cacat moral, juga cacat substansi. Tidak urgen dan krusial namun dilakukan terburu-buru. Seolah mereka bukan hanya bias moral, namun bias kognitif pula.

Rakyat hanya bisa menunggu drama-drama politik yang tak penting. Drama politik yang tidak bermakna namun dilakukan demi kuasa sesaat. Lalu ke mana mereka akan mencari dana meugang?

Seperti biasa, yang atas menginjak yang bawah. Yang utama, bos senang. Meski harus melanggar aturan bahkan hukum. Selama tidak diselidiki, semua aman-aman saja. Demikian kisah Plt Meugang. Bisa jadi lanjut ke definitif bisa pula hanya selesai setelah meugang hari raya.

Dan kisah ini akan menarik bila Mualem tidak berakhir seperti Irwandi. []

Penulis: Don Zakiyamani

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button