OPINI

Enaknya Jadi Ateis

Oleh: Don Zakiyamani

DISTORI.ID – Apa yang dapat Anda katakan ketika ngobrolin Friedrich Wilhelm Nietzsche? Jawaban paling umum yang saya dapatkan adalah seorang ateis. Benar bahwa kakek Nietzsche pernah berucap Tuhan telah mati. Namun pernyataan manusia selalu multi tafsir. Jika Anda memiliki perspektif berbeda, tentu sah-sah saja.

Kita tidak akan memperdebatkan premis kontroversial kakek Nietzsche. Lebih nikmat jika kita diskusikan enaknya jadi ateis. Pilihan keyakinan itu memang agak tabu di negara yang berlandaskan Pancasila. Meski pada tataran praksis kita sering menjadi ateis. Sebut saja saat kita berbohong pada istri, anak, teman, maupun orang tua kita.

Ketika kita melakukan tindakan itu, pada dasarnya kita sedang tidak percaya Tuhan. Kita sedang meniadakan Tuhan, atau setidaknya kita lupa bahwa Tuhan itu ada. Maklum, saat itu kita beranggapan Tuhan tidak menegur langsung. Bahkan nikmat Nya terus mengalir tanpa henti.

Para koruptor yang mengambil hak orang banyak, bahkan melanggar aturan negara tetap saja diberi kekayaan. Beberapa pelaku malah dimuliakan karena sumbangsih materi yang diberikan. Pelaku koruptor malah sering dicium tangannya. Sejatinya, pelaku koruptor itu ateis.

Jika benar bertuhan bagaimana mungkin menipu rakyat.

Jika benar bertuhan bagaimana mungkin menipu rakyat. Bagaimana mungkin mengambil hak-hak orang banyak. Tentu saja Anda tidak setuju. Namun mari kita teliti lagi dengan sebuah pertanyaan sederhana; “apakah ada Tuhan yang membolehkan korupsi?”. Anda barangkali protes, pelaku korupsi hanya melanggar aturan Tuhan bukan meniadakan Tuhan.

Pandangan itu tidak salah, sebabnya ada konsep taubat. Kompensasi yang diberikan Tuhan agar manusia tidak mengulangi kesalahan yamg sama. Sayangnya konsep itu dijadikan dalil untuk meremehkan sebuah tindakan kejahatan termasuk korupsi. “Kan bisa taubat, akhirnya dimaafkan Tuhan dan masuk surga”. Lagian Tuhan itu Maha Pengasih dan Penyayang.

Berbekal pemahaman itu, pelaku korupsi kerap meniadakan Tuhan. Meski kebanyakan kita menganggap itu hanya kejahatan. Padahal korupsi berdampak sistemik. Negara rugi, akibatnya utang bertambah. Pemerintah kemudian menaikkan pajak, menambah beban rakyat. Para pengusaha yang didesak pajak kemudian menaikkan harga. Daya beli masyarakat berkurang dan saat yang sama kemiskinan bertambah.

Tingkat kriminalitas biasanya mengikutinya. Dan akhir drama kehidupan itu kita semua tahu bagaimana. Sebagai pemeran drama kehidupan itu kita semua tahu, bagaimana rasanya dampak korupsi terhadap episode kehidupan kita.

Lalu tetap kah Anda menganggap pelaku korupsi sebagai manusia yang percaya Tuhan? Dalam hal ini kita berbeda jika demikian, dalam pandangan saya, kejahatan yang merugikan orang banyak adalah ateis. Meski secara formal dan ritual ia mengaku beragama dan melaksanakan kewajiban dari tuhannya.

Sebelum protes dan marah dengan pandangan saya, ajaklah nalar dan akal bertamasya. Dengan begitu, tidak perlu marah apalagi antipati. Menurut pandangan saya, ateis itu ada yang kultural. Nah ateis kultural inilah yang saya sebutkan contohnya di atas. Mereka beragama dan mengakui Tuhan namun sering melupakan Tuhan bahkan mengabaikan Tuhan saat melakukan kejahatan.

Ini berbeda dengan ateis umumnya yang tidak mengakui Tuhan. Mereka tidak percaya bahwa Tuhan itu ada dengan argumen-argumen yang sejatinya dapat dibantah. Sekali lagi, kita tidak akan membahasnya dalam episode tulisan ini.

Ateis ada di sekitar kita.

Kembali soal ateis-kultural tadi, mereka menikmati kekayaan hasil korupsi dengan menyalah gunakan kekuasaan politik. Mereka menyuap dan disuap, sehingga aturan yang dirancang menertibkan malah semrawut. Di Indonesia, ateis-kultural melibatkan banyak institusi. Barangkali semua institusi diisi mereka yang ateis.

Profesi mereka beragam, hakim, jaksa, polisi, politisi, pengusaha, dan profesi-profesi lainnya yang dipandang hebat. Tidak kita temukan pelaku korupsi itu berprofesi buruh, tani, nelayan. Itu artinya, pelaku korupsi (ateis-kultural) adalah kelompok berpenghasilan di atas UMR bahkan tergolong kelompok kaya.

Mereka tidak dapat dianggap menuhankan uang dan jabatan serta kekuasaan. Sebabnya, uang dan jabatan serta kekuasan tidak memenuhi kualifikasi sebagai Tuhan. Meski kita sering mendengar dan membaca, ada manusia yang menuhankan uang, jabatan, kekuasaan bahkan kelamin.  Ungkapan itu menurut pandangan saya kurang tepat.

Jika Anda bersikukuh dengan pandangan itu berarti Anda mengindap ateis psikologis. Pandangan ini tentu saja berkesimpulan bahwa manusia menciptakan Tuhan demi kebutuhan emosional dan psikologis. Gabungan dari pernyataan Kakek  Ludwig Andreas von Feuerbach dan Sigmund Freud.

Bila kakek Ludwig Andreas von Feuerbach menguraikan bahwa manusia menciptakan Tuhan demi proyeksi keinginan dan harapan, maka Sigmund Freud berpendapat bahwa percaya Tuhan sebagai mekanisme psikologis. Jadi, jika Anda sejalan dengan keduanya, silahkan menggunakan ungkapan bahwa ada manusia yang bertuhankan uang.

Mereka menikmati segala kemewahan, kebal hukum, mempermainkan hukum.

Tulisan ini juga tidak akan memperdebatkan kriteria Tuhan lebih lanjut. Setidaknya kita yang mengaku bertuhan jangan pernah menciptakan pencipta. Kita akan masuk rumah yang dipagari dengan indah dan kesannya mewah namun di dalamnya penuh keributan. Itu bukan kediaman, artinya akan masuk logica fallacy.

Jadi, berhati-hatilah ketika mengatakan pelaku korupsi bertuhankan uang. Karena itu dapat berakibat kita sejalan dengan pemikiran ateis psikologis. Lebih baik sejalan dengan pendapat saya, mereka adalah ateis-kultural. Kelompok yang secara praksis melupakan dan mengabaikan Tuhan meski mengaku bertuhan.

Dan faktanya, ateis yang satu ini kini berkuasa di negara yang mengakui keesaan Tuhan. Mereka menikmati segala kemewahan, kebal hukum, mempermainkan hukum, bahkan saling cakar bila sudah masuk ranah politik. Perebutan uang haram terjadi secara massif. Dan itulah ateis sejati.

Mereka (ateis) dengan uang dan kekuasaan malah mengatur manusia bertuhan. Bahkan mereka beberapa kali kita pilih, kita elukan, puja-puji dalam forum, kita datangi sambil berharap pamrih. Para pengurus rumah Tuhan bahkan sangat jarang bertanya sumber sumbangan uang. Tak enak katanya, ya, kita lebih sering tak enak pada manusia ketimbang tak enak pada Tuhan.

Begitu enaknya jadi ateis, dipuja-puji, bahkan kedudukannya lebih tinggi dari Tuhan yang harus kita sembah. Mari renungkan sebentar, pernahkah kita tidak enak pada Tuhan ketika dipanggil?

Sudah sore, kopi sudah datang. Ateis ada di sekitar kita. Menikmati jerih payah rakyat. Mengakuisisi institusi pemerintahan layaknya perusahaan pribadi. Berkhotbah soal moral sambil melanggar hak-hak ekonomi rakyat. Dan lagi-lagi kita memilih mereka. Jangan-jangan kita juga ateis, ateis psikologis. []

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button