DISTORI.ID – Persis di depan bangunan ini juga terdapat sumur tua, diyakini sebagai bak penampungan air yang cukup besar yang sudah ada sejak Tahun 1900.
Namun, kondisi bak ini sama tragisnya dengan bangunan karantina haji, dipenuhi sampah pepohonan di dalamnya. Layaknya tak pernah di jamah oleh manusia.
Persis di pinggir jalan setapak memasuki bangunan ini terdapat tugu museum yang bertuliskan “Karantina Haji”. “Tempat itu (Karantina Haji) memang jarang dikunjungi, pengunjung kalau ke sini hanya pergi berenang,” kata Ahmad, seorang pedagang di Pulau Rubiah.
Nama Pulau Rubiah ini sebenarnya cukup terkenal dan mendunia lewat kekayaan wisata bawah lautnya (marine park), tentunya akan lebih memperkaya jika keberadaan karantina haji diangkat sebagai ikon wisata sejarah di Pulau Rubiah.
Salah satu tiga alasan kenapa Aceh disebut Serambi Mekkah karena Pulau Rubiah yang berada di Propinsi Aceh sebagai karantina haji pertama di Nusantara.
Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman mengatakan, pemerintah kolonial Belanda mendirikan pusat karantina haji untuk kepentingan ekonomi dan politik. Gedung karantina haji dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh.
Ia menuturkan, Belanda tidak mau ambil pusing, seluruh jamaah haji yang baru pulang diwajibkan karantina hingga ditetapkan statusnya terbebas dari wabah penyakit.
“Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antar negara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib,” kata Albina.
Karantina yang diterapkan selama 40 hari, jauh lebih lama dari proses karantina yang diterapkan selama wabah Corona yang telah menyerang hampir seluruh negara di dunia saat ini.
“Waktu pulang harus mampir di sini, jamaah perlu dikarantina selama 40 hari. Jadi siapa yang lolos, mereka tidak sakit, berarti sudah selesai. Maka dibolehkan pulang,” kata Albina.
Seiring berjalannya waktu, saat Jepang datang, Belanda terpaksa angkat kaki dari Sabang. Gedung karantina haji berubah menjadi barak tentara dan karantina haji di Aceh akhirnya terhenti.
Baru pada tahun 1944, Belanda kembali dan terjadi pertempuran dengan tentara Jepang sehingga beberapa bangunan pusat karantina haji hancur dihantam peluru Belanda.
“Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia. Tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan,” ujarnya.
Sejak saat itu, pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun kota Sabang masih menjadi jalur pemberangkatan jamaah haji ke tanah suci hingga tahun 70-an melalui kampung haji.
Untuk mengunjungi lokasi ini, cukup mudah, dari pusat Kota Sabang pengunjung harus terlebih dulu ke Pantai Iboih, memakan waktu sekitar 45 menit. Selanjutnya menyeberang dengan menggunakan Speed Boat.
Sesampainya di Pulau Rubiah, pengunjung harus berjalan kaki naik ke atas bukit sekitar 100 meter untuk sampai di bekas tempat karantina Haji ini. jadi jika anda ke Sabang sempatkanlah mengunjungi tempat bersejarah ini. []