SEJARAH

Iskandar Muda usir kepala dagang Inggris dari istana

Surat-surat Kesultanan Aceh abad ketujuh belas (bagian satu)

DISTORI.ID – Sejauh ini hanya ada tiga surat asli Kesultanan Aceh abad ketujuh belas yang dapat ditelusuri, ketiga-tiganya secara kebetulan mewakili tiga penguasa Aceh yang paling terkenal.

Pertama, sebuah surat dari Iskandar Muda tahun 1615 dan telah dipublikasikan. Kedua, sebuah surat dari Iskandar Thani tahun 1639. Dan ketiga surat dari Tajul Alam Safiatuddin tahun 1661, yang belakangan ini diketahui keberadaannya.

Dikutip dari buku “Memetakan Masa Lalu Aceh” suntingan R. Michael Feener, Patrick Daly dan Anthony Reid, ketiga surat tersebut ditulis dalam bahasa Melayu.

Iskandar Muda usir John Oxwick yang pongah

Terdapat sebuah surat dalam bahasa Melayu dari Sultan Perkasa Alam, lebih dikenal sebagai Iskandar Muda dari Aceh kepada Raja James I dari Inggris, tahun 1024 Hijriyah (1615 Masehi).

Surat tersebut disimpan di Perpustakaan Bodleian, Universitas Oxford, oleh Uskup Laud tahun 1635. Surat ini dipublikasikan pertama kali oleh W.G. Shellabear (1898-123-30).

Isinya sangat sederhana. Sultan dengan hormat menolak usaha Inggris untuk mengadakan perdagangan di Tiku (sekarang Kabupaten Agam, Sumatra Barat) dan Pariaman (sekarang Sumatra Barat) di pantai barat Sumatra, dengan menyarankan agar berdagang langsung ke Aceh.

Akan tetapi dan anehnya, konteks histori dan tanggal pastinya tak pernah diidentifikasi. Isinya sendiri membingungkan, yang jelas dua kapal Inggris mengunjungi Aceh tahun 1615, ‘Hector’ dan ‘Thomas’, mendapatkan izin resmi untuk berdagang di pelabuhan barat Sumatra.

Jawaban atas misteri ini ternyata ada pada karakter arogan kepala dagang kapal ‘Hector’, John Oxwick, karena jelas setelah sebuah penelitian atas surat-surat yang tersimpan di arsip kompeni Inggris, yaitu India Office Records.

Ketika kapal ‘Hector’ tiba di Aceh pada 15 April 1615, Sultan Iskandar Muda sedang berada di Pedir (sekarang Pidie). Tanggal 18 April, Oxwick dan teman dagangnya, Samuel Juxon, berangkat menuju Pedir untuk menyerahkan surat dari Raja James I kepada Sultan, berikut persembahan kerajaan.

Dan pada tanggal 3 Mei ia kembali ke Aceh (sekarang Banda Aceh) bersama-sama dengan rombongan raja. Pada saat itu, Oxwick bertanggung jawab untuk hadir ke istana raja, sedang rekannya melakukan transaksi dagang di kota tersebut.

Samuel Juxon dan teman-temannya penasaran, karena ternyata Oxwick tidak pernah secara serius berusaha untuk mendapatkan surat-surat izin yang penting untuk membeli merica dari pelabuhan di pesisir barat.

Lebih pongahnya lagi, Oxwick menolak nasihat para rekannya untuk serius mengurus surat izin berdagang dari Iskandar Muda. Tampaknya ia hanya terpaku pada dua hal, bagaimana mendapatkan surat balasan resmi dari sultan kepada Raja James dan negosiasi bebas tarif di Pariaman dan Tiku.

Celakanya Oxwick hanya mendapatkan yang pertama, dan surat resmi Sultan Iskandar Muda baru diberikan secara resmi pada 1 Juni. Bisa disimpulkan, bahwa surat tersebut pasti dibuat pada akhir Mei tahun 1615.

Namun, setelah Oxwick mendapatkan surat tersebut, tingkah lakunya menjadi sangat kasar dan arogan hingga ia mendapatkan peringatan keras dari Sultan Iskandar Muda, dengan mengatakan bahwa bukan Aceh yang mesti melihat ke Inggris, tetapi Inggris ke Aceh, dan mengusirnya dari istana.

Karena alasan ini, teman-temannya satu kapal terkungkung di Aceh, tidak bisa melanjutkan ke pantai barat tanpa izin. Pada sebuah perundingan darurat di atas kapal, sebuah keputusan diambil dengan membebaskan Oxwick dari tanggung jawabnya sampai kapal mencapai Banten, dan menunjuk pengganti posisinya, komandan kapal Arthur Spaight untuk melanjutkan perundingan di istana.

Hal ini dilakukan pada tanggal 13 Juni, dan pada tanggal 27 Juni, Spaight berhasil mendapatkan surat izin dari sultan untuk berdagang di Tiku, tetapi dengan harga cukup mahal. Oxwick sendiri meninggal sekitar tanggal 20 Juni karena mengalami sakit ‘flux’ (disentri), dan dikubur di Aceh.

Cerita sedih ini menjelaskan kenapa surat tersebut bernada negatif karena tampaknya Oxwick menganggap surat balasan resmi kerajaan telah ia pegang dan semuanya telah selesai, dan dia sendiri tidak mencoba mengerti isinya.

Terlebih lagi, meskipun Oxwick baru kehilangan kehormatan di istana setelah mendapat surat dari Iskandar Muda, tingkah lakunya yang sombong dan tidak mau mendengarkan saran kawan-kawannya pastilah sudah tercium sebelumnya, dan karena ini, dia harus membayar mahal, hilang kehormatan di istana.

“Yang penting menang gaya, walaupun isinya ompong”, tampaknya menjadi kata kunci Oxwick, dan persis itulah yang dia dapatkan, dalam bentuk surat yang sangat indah, tetapi tidak ada guna secara komersial.

Oxwick meninggal dengan tidak hormat di Aceh, dan isi surat tersebut sudah tergantikan oleh peristiwanya yang kelam. []

Editor: M Yusrizal

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Back to top button