DISTORI.ID – Anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari menyesalkan penghancuran Rumoh Geudong di Kabupaten Pidie, Aceh sebagai tempat kejadian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat.
Diketahui, Rumoh Geudong mulai dihancurkan jelang kedatangan Presiden Joko Widodo dalam acara kick-off Pelaksanaan Rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat tanggal 27 Juni 2023 mendatang.
Menurutnya tindakan ini merupakan contoh buruk ketakpahaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan kewajibannya terkait pengungkapan pelanggaran HAM dan pemenuhan hak-hak korban.
“Rumoh Geudong Pidie berstatus sebagai tempat kejadian perkara karena itu tidak boleh dihilangkan bahkan dihancurkan sebelum proses hukumnya berkekuatan hukum tetap,” sebut Taufik Basari, Sabtu (24/6/2023).
Ketua Fraksi NasDem MPR RI ini menjelaskan, Rumoh Geudong telah dinyatakan Komisi Nasional (Komnas) HAM sebagai lokasi pelanggaran HAM berat pada saat Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989 – 1998.
“Berkas penyelidikannya telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ke proses hukum,” sebutnya.
Dalam temuan Komnas HAM, kata Taufik Basari, saat pelaksanaan DOM Aceh, Pemerintah RI melalui Panglima ABRI memutuskan untuk melaksanakan Operasi Jaring Merah (Jamer) yang menjadikan Korem 011/Lilawangsa sebagai pusat komando lapangan.
Ia menyebut, di lokasi Rumoh Geudong tersebut terjadi berbagai peristiwa kekerasan yakni penyiksaan, kekerasan seksual, perampasan kemerdekaan dan sebagainya.
“Saya termasuk yang mendukung langkah presiden dalam mengupayakan alternatif pemenuhan hak korban melalui Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia [TPPHAM]. Tetapi jika caranya dengan menghilangkan tempat kejadian perkara seperti ini maka langkahnya keliru,” kata Taufik.
Ia mengingatkan, dalam penyelesaian non yudisial pemerintah telah berkomitmen proses ini tidak mengesampingkan proses yudisial melalui penegakan hukum. Karena itu, tambahnya, bukti-bukti dan tempat kejadian perkara harus tetap dijaga untuk keperluan proses hukum.
“Alih-alih menghancurkan sisa bangunan dan merencanakan alih fungsi, pemerintah seharusnya mendukung upaya memorialisasi situs Rumoh Geudong yang telah diinisiasi oleh para penyintas dan kelompok masyarakat sipil sejak tahun 2017 lalu, sebagai bagian dari pengingat dan pembelajaran untuk menjaga prinsip non recurrence, prinsip ketidakberulangan,” sebutnya.
Menurut Taufik, tindakan pemerintah Kabupaten Pidie tersebut tidak saja telah mengubur memori kolektif rakyat Aceh terhadap peristiwa yang terjadi di tempat itu, tetapi juga mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran yang telah dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan menghilangkan bukti pelanggaran HAM yang berat.
Taufik menjelaskan pemerintah Indonesia seharusnya belajar dari negara Kamboja merawat dan mempertahankan situs-situs terjadinya pelanggaran HAM berat di negaranya.
“Pemerintah [Indonesia] harus belajar dari negara Kamboja dalam menjadikan situs-situs tempat terjadinya pembantaian dan penyiksaan yang dikenal sebagai tempat pembantaian [Killing Field] tahun 1975-1979 oleh Khmer Merah sebagai museum dan memorabilia pengingat kejadian kelam tersebut,” kata Taufik.
Diketahui tahun 1975 – 1979, Khmer Merah melakukan kejahatan yang merenggut nyaris sepertiga penduduk Kamboja. Peristiwa tersebut menjadi salah satu kasus pembantaian massal terbesar setelah Holocoust di Jerman. PBB akhirnya mendukung didirikannya Pengadilan Khmer Merah yang disebut kamar luar biasa dalam Pengadilan Kamboja.
Kendati sejak beroperasi tahun 2006, pengadilan baru memvonis tiga orang bersalah atas kasus Killing Fields, namun hingga saat ini pemerintah Kamboja tetap mempertahankan situs tersebut sebagai bukti sejarah yang tidak boleh terulang kembali di masa depan. Selain itu, pemerintah juga menetapkan 20 Mei sebagai hari untuk mengingat genosida yang terjadi di Kamboja.
“Saya berharap kekeliruan menghancurkan tempat kejadian perkara ini dapat tidak terulang dalam kasus-kasus lainnya yang masuk daftar penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu,” ujar Taufik.
Taufik berharap, Indonesia harus menjadi bangsa yang besar untuk mengakui kesalahannya di masa lalu, mengungkapkan kebenaran yang terjadi sepahit apapun, selanjutnya diingat sebagai pelajaran berharga agar tidak terulang lagi di masa mendatang.
“Pemulihan terhadap korban tidak boleh sekedar dipandang dari sudut pemulihan materil semata, tapi harus diikuti pengungkapan fakta sebagai pemenuhan hak untuk mengetahui kebenaran,” ujarnya. []
Editor: M Yusrizal